Sistim Hutan Kerakyatan
Sistem Hutan Kerakyatan
Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan kemasyarakatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan rakyat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003, dikeluarkan kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan.
Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati, dimana arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan masyarakat hanya ikut ‘menumpang’ di lahan tersebut.
Sistem Hutan Kerakyatan yang digagas WALHI memiliki dua kata kunci, yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.
Sistem Hutan Kerakyatan [SHK] memiliki prinsip-prinsip di antaranya bahwa:
1. Aktor utama pengelola adalah rakyat [masyarakat lokal/masyarakat adat];
Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan;
2. Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya;
3. Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat;
4. Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat;
5. Pengetahuan lokal [indigenous knowledge] menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya;
6. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat;
7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian [sustainability];
8. Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan;
9. Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem Hutan Kerakyatan sendiri sebenarnya adalah pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh rakyat itu sendiri [aturan adat/lokal].
Sistem Hutan Kerakyatan juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun akan lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan kerakyatan. Kalaupun akan menebang pohon, hal tersebut hanya lebih pada untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan komunitas.
Peran pemerintah dalam sistem hutan kerakyatan akan lebih pada dukungan [fasilitasi], kemitraan, pembuat kebijakan umum [prinsip-prinsip] dan pengakuan kawasan kelola rakyat.
Pengelolaan Berbasis Bioregion
Pendekatan pengelolaan berbasis bioregion diarahkan pada pengertian politis dalam mempromosikan pengembalian dan pengembangan sistem alam yang secara keseluruhan mendukung masyarakat dan alam di setiap kawasan. Hal tersebut mengarah pada:
Komitmen untuk perbaikan sistem alam
Hubungan spiritual dan budaya antara komunitas, lahan dan proses ekologi, dan
Sebagai tujuan dari kebijakan desentralisasi, pengidentifikasian sendiri dan kesetaraan sosial
Kawasan bioregion meliputi wilayah tanah dan air yang tidak dibatasi oleh batas politik, tapi dibatasi oleh geografi dari komunitas masyarakat dan sistem ekologi. Sebagai sebuah konsep, bioregion merupakan kesatuan wilayah ekosistem yang diurai sebagai berikut :
Area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, batas-batas alam terhadap aliran air, iklim, flora dan fauna tertentu.
Bioregion mengkaitkan ekosistem, geografis masyarakat dan budaya untuk mendorong ikatan sosial yang dapat meningkatkan eko-budaya yang mengakar pada suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi.
Batas bioregion tidak ditentukan dari “atas” karena bioregion adalah konsep ekologi dan budaya yang sudah ada beserta masyarakat yang ada di wilayah tersebut.
Dalam pengertian sebuah proses, bioregion menekankan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus didahului proses orientasi dan identifikasi. Melalui proses tersebut, diharapkan masyarakat bertindak arif terhadap lingkungan alam. Dan kebijakan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam dapat mengakomodir keunikan dan karakteristik sosial-budaya setempat.
Kearifan lokal menjadi salah satu pijakan dalam merumuskan konsep bioregion. Masyarakat lokal yang menjadi bagian dan telah mengenal ekosistemnya bisa menjadi pengontrol eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan.
Berbeda dengan konsep ekoregion yang lebih menitikberatkan homogenitas komponen ekologi semata sebagai pengikat kawasan. Ruang dalam bioregion merupakan suatu homeland yang disatukan oleh interaksi dinamis dan ketergantungan komponen ekologi, sosial dan ekonomi yang memungkinkan fungsi-fungsi pendukung kehidupan suatu komunitas dapat terwadahi dan berjalan dengan baik.
Karakteristik pengelolaan bioregion paling tidak harus mencakup pelibatan para pihak [full involvement stakeholders], penerimaan masyarakat [social acceptance], informasi yang satu dan komprehensif [solid and comprehensive information], pengelolaan adaptif [adaptive management], pengembangan keahlian secara kooperatif [cooperative skills development] dan integrasi kelembagaan [institutional integration].
Kawasan bioregion yang paling luas mengacu pada sejarah pembentukan geografi Kepulauan Indonesia, yang terbagi menjadi tiga bioregion, yaitu Paparan sunda, Wallacea, dan Sahul. Kawasan bioregion yang lebih sempit mengacu pada realita geografi yang ada yaitu pulau dan perairan di sekitarnya sampai kedalaman 200 meter. Jika kedalaman laut tidak mencapai 200 meter, kriterianya adalah pad selat atau laut diambil batasan dasar laut paling dalam yang mampu dikelola. Usulan wilayah bioregion adalah Sumatera, Simeulue, Nias, Mentawai, Enggano, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Sangir Talaud, Takabone Rate, Ternate-Tidore, Ambon-Buru-Seram dan Papua.
0 Response to "Sistim Hutan Kerakyatan"
Posting Komentar