Negara Indonesia Berbentuk Perusahaan.
Jumat, 2009 Januari 30-Jakarta.
Kolaborasi kepentingan korporasi sudah menjadi budaya kebijakan atau
bagian dari sistem kebijakan negara hari ini. Adalah Korporatokrasi
dari pendekatan ekonomi dan politik yang historis diantaranya dari sisi
sosiologis kapitalisme memerlukan wadah yang lebih struktural dan
permanen untuk lobbying. Sedangkan dari sisi politik-Korporatokr asi
merupakan wadah, yang biasa saja diluar struktur negara, yang dapat
menjamin keditaktoran kelas kapitalis; dan dibedakan dengan
korporatisme yang merupakan ruang didalam struktur negara. Demikian,
Danial Indra Kusuma dalam Jurnal Tanah Air edisi Januari 2009
dipresentasikan dalam diskusi Bulanan yang diselenggarakan oleh WALHI (
Jumat, 30-01-09).
Lebih lanjut cengraman Modal terhadap Negara Indonesia Menurut Arianto
Sangaji telah ada di era kolonialisme Indonesia; pra kemerdekaan, orde
baru dan reformasi. Awal merebaknya sejumlah pemodal ber-investasi di
Indonesia membanjir setelah PT. Freeport berhasil mengantongi ijin
kontrak karya dan melucuti Undang-undang pertambangan Asing diawal
tahun 1967. Maka pemodal-pemodal asing kemudian semakin eksis dengan
dukungan dana dari IMF-BANK DUNIA.
Dani Setiawan, Direktur Koalisi Anti Untang ( KAU-Sekarang ) menulis
bahwa lembaga keuangan Internasional mendorong kebijakan deregulasi
guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di Indonesia melalui transaksi
utang luar negeri. Dimana RAPBN Indonesia 2009 pembayaran bunga utang
dalam dan Luar Negeri sebesar Rp. 110.327 trilyun. Kemudian pembagian
perekonomian Indonesia era Neokolonialisme dibagi menurut kepentingan
korporasi internasional. Dan hasilnya adalah Freeport mendapatkan
tambang emas dan tembaga di Papua Barat, konsorsium Eropa juga mendapat
Tambang Nikel di Papua Barat bahkan kelompok perusahaan Amerika, Jepang
dan Perancis mendapat jatah Hutan Tropis di Sumatera, Papua Barat dan
Kalimantan, ungkap Dani dalam diskusi yang berlangsung tiga jam.
Lebih dari belasan aktivis dari berbagai kalangan yang hadir semakin
panas ketika mendengarkan paparan dan rasionalisasi yang diutarakan
dengan beragam fakta menggetarkan.
Perusahaan Asing menguasai lebih dari 85 persen kegiatan eksploitasi
minyak dan Gas di Indonesia dengan penyediaan lahan seluas 95 juta
hektar. Papar Sallamudin Daeng dan Pius Ginting yang juga turut
meberikan materi dalam diskusi terbatas ini. Berbeda dengan penulis
sebelumnya, Khalisah Khalid membeberkan bukti korporasi yang kini
ber-okestrasi menjelang pemilu. Koorporasi semakin menemukan ruang
kemenanganya ketika pengurus negara meberikan penguasaan penuh untuk
memainkan peran-peran mereka. Maka, tidak heran jika jelang pemilu,
politik regulasi menjadi legalitas borjuasi.
Direktur Nasional WALHI, Berry Nahdian Forqan yang turut memberikan
sambutan dalam jurnal mengungkapan solusi bahwa hanya dengan
solidaritas dari berbagai komponen massa rakyat yang tertidas; tergusur
demi investasi, diberangus demi investasi dan komponen lain yang
menginginkan keadaan yang lebih adil dan lestari.
NB: Foto diatas diambil saat diskusi berlangsung.
--
Posting oleh ARKILAUS ARNESIUS BAHO ke ARKILAUS ARNESIUS BAHO pada
5/16/2009 09:01:00 AM
Tiga hal yang krusial dan menyatukan beragam pandangan berbeda dalam
sikap terkini bagi pilihan rakyat di Tanah Papua terus menyatakan
keberpihakan atas ketidakadilan yang terus dialami tanpa sebuah
perubahan positif. Kenyataan pahit diantaranya diawali dengan masuknya
Perusahaan Amerika yang ter-jebloskan oleh Rezim Otoriter Orde Baru
diawal tahun 1967 sampai sekarang belum terasakan keadilan atas
kehadiran PT. Freeport Indonesia. Rantai kemiskinan, Pemblokiran
hak-hak masyarakat Papua dalam kebebasan dan kemerdekaan secara politik
dan kekuasaan atas tanah tak lagi seperti dahulu sebelum masuknya FI.
Konflik berkepanjangan menjadi barometer terkini, Timika adalah salah
satu medan konflik terbesar yang tiap tahunnya tak luput dari bencana
konflik.
Tragis, rasa ketidakadilan orang Papua yang telah terkoyak akibat
ekspansi multinasional kooporat Amerika, kemudian belum juga menemui
rasa keadilan dan kedamaian, kini tuntutan kebebasan rakyat Papua
diperhadapkan lagi dengan BOM waktu pemusnahan peradaban Orang Papua.
Ya, Delapan Tahun perjuangan menjalankan Otsus di Tanah Papua tatkala
menyuburkan praktek ketertindasan pasar ( kapital ) atas suprastruktur
peradaban orang Papua yang telah hidup sejak leluhurnya. Bayangkan,
keberpihakan Otsus sudah faktanya meniadakan elemen roh Bangsa Papua
dan Otsus Papua menyelenggarakan sistem pasar modern. Suatu keniscayaan
murahan yang terus dianggap sebagai bentuk solusi mengatasi
ketertinggalan orang Papua. Wacana Otsus bagi putra Papua hanlah
sentimen murahan yang tak dapat dibuktikan. Adalah pembunuhan ruang
kebebasan orang Papua murni praktek-praktek otsus selama ini. Peradaban
Papua terus dihancurkan “terpukul mundur” oleh sabotase keberpihakan
birokrasi Indonesia atas kaum borjuasi modal. Supermarket berdiri megah
di Papua, penduduk Asli Papua merana di pinggiran dan samping
supermarket guna menjajakan jualan hasil pertaniannya.
Begitu juga, partisipatif rakyat Papua sejak di caplok kedalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sudah banyak keikutsertaan orang Papua
dalam proses Pemilihan Umum. Dari proses pemilihan umum yang diikuti
rakyat Papua sudah secara aktif ikut memilih lima kandidat presiden.
Apa yang didapat? Suharto meniadakan hak orang Papua untuk menentukan
hak secara bebas terkait proses penambangan di Timika oleh Freeport
Amerika. Tat kala juga Daerah Operasi Militer ( DOM ) berlaku di Papua.
Era Gusdur memulai babak baru Papua dengan mengembalikan Irian Jaya
menjadi Papua. Sayang, komunitas Indonesia anti atas keberpihakan
Demokrasi bagi orang Papua. Era Megawati, Tokoh Papua, Alm. Theys Hiyo
Eluay terbunuh berbarengan dengan terbunuhnya aktivias HAM
Indonesia-Alm. Munir. Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menang telak
suara di Papua. Sudah ada satu Peraturan Presiden “ PERPRES No.77”
menjadi kado penanganan Papua selain Otsus. SBY kemudian
menyelenggarakan prospek pendekatan persuasif dimana supratsruktur
demokrasi rakyat Papua ter-blokade atas rentetan rekayasa instrumen
hukum yang benar-benar bertentangan dengan semangat demokrasi
universal.
Kini, membanjirnya partai baru-bercokol dengan partai lama, pemimpin
baru-ber-onani kebijakan dengan pemimpin lama, semua bersandiwara atas
penyelesaian Papua dan demokrasi di Indonesia dan Papua. Tetapi,
tatkala perjuangan menyelesaikan konflik keadilan dan martabat rakyat
Papua atas berbagai belenggu ketidakadilan kemudian menjadi tontonan
biasa bagi para elite. Jakarta cenderung melempar batu ke alit lokal
Papua, sedangkan elite Papua terus di penggal lehernya oleh Jakarta.
Bentuk kordinasi buruk semacam ini terus menjauhkan keberpihakan akan
keadilan bagi orang Papua. Mentalitas penyelenggaraan sistem kapitalis
di Indonesia benar-benar menyembah kaum imperialis semata dengan
mengorbankan rakyat sebagai konsekwensi mempertahankan kedudukan nyata.
Freeport tak mungkin menjajah Bangsa Papua dan Indonesia secara
Keseluruhan jika aspek hukum bertaring. Kaum Otokrasi dari kalangan
militer, pemerintah dan intelektual ulung yang terus saja menjual aset
milik rakyat kepada kaum pemodal. Ikatan yang kokoh antara pemodal,
militer, intelektual dan politisi ber-mental mundur semakin nyata
menegaskan bahwa Otsus tak bisa berpihak bagi keistimewaan Papua akibat
didominasi kebijakan pasar internasional. Pemilu tak bisa dijalankan,
yang ujung-ujungnya menyedot energi rakyat semata untuk mendukung
antek-antek penindas. Begitu juga, Identitas orang Papua yang kini
menjadi demam otsus hanya akan menjadi sejarah, sebab privasi atas
Papua punya ruang bagi pasar internasional. Imperialisme atas Papua
menjadi musuh terkini yang terus menelan suprastruktur peradaban Papua.
Bayang-bayang kejahatan Freeport-Otsus dan Proses Pemilu, tiga hal yang
menonjol hari ini di Tanah Papua dan meyakinkan keberpihakan rakyat
Papua untuk tak lagi mampu menyatakan keberpihakannya. Pilihan atas
semuanya, adalah polemik dan jeritan getir orang Papua. Lumbung konflik
jangan dibiarkan, jawaban atas tuntutan perjuangan Nasional Papua
menjadi kebutuhan sekarang untuk di runding bersama demi
kemanusiaan- Demokrasi dan Kedaulatan Ekonomi maupun Politik sebuah
Bangsa..
Wilayah Baru hanya urus Pemekaran Birokrasi
Ada 12 undang-undang pembentukan daerah baru pada 21 Juli 2008. Selain
itu, disahkan UU Nomor 35/2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2008
menjadi UU tentang Perubahan atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa saat
ini otsus meliputi dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Sebagai
catatan, untuk otsus di tiga provinsi (Papua, Papua Barat, dan Aceh),
pemerintah mengalokasikan dana otsus Rp 8,7 triliun pada 2009.
Berdasar hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) dan United Nations Development Program (UNDP) yang dirilis
Juli 2008 menunjukkan kegagalan pemekaran. Sebab, daerah-daerah hasil
pemekaran tidak bisa berkembang, sebagaimana daerah induknya. Riset itu
dilakukan terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia
selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah,
keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di daerah.
Kenyataannya, pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan
pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi
kepentingan para pemodal yang kemudian menggerakkan elite nasional dan
elite lokal. Sebanyak 12 UU baru ditelurkan dalam sidang paripurna.
Pada tahun ini, total telah terjadi pembentukan 30 daerah baru. Dua
kota dan 28 kabupaten.
Pemekaran paling banyak terjadi di Papua. Selama 2008 telah lahir
delapan daerah baru. Disusul Sumatera Utara sebanyak lima daerah.
Kemudian tiga daerah baru lahir di Lampung dan dua daerah masing-masing
di Sulawesi Utara dan Maluku. Provinsi-provinsi yang memiliki satu
daerah baru adalah Jambi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Maluku Utara,
Papua Barat, serta Bengkulu dan Banten. Dengan demikian, di Indonesia
sekarang terdapat 33 provinsi, 396 kabupaten, dan 93 kota.
Konsekuensi pemekaran dengan mengutamakan pelebaran birokrasi ketimbang
mengutamakan kebijakan pasti atas masalah sosial dan ekonomi yang
dihadapi rakyat adalah membenarkan adanya infiltrasi kolonialis baru
bernama pemekaran. Peradaban Papua yang terang dan bertabat diharapkan
mampu di majukan dan peradaban Globalisasi nyata saat ini agar tidak
kemudian membiarkan kebijakan globalisasi meniadakan identitas pribumi
dan melegalkan hubungan multi-kapital semata. Jika demikian, politik
kesejahteraan dan kemandirian Bangsa hanyalah jargon.
Rekayasa Suaka 43 Warga bukti kemenangan Imperialis
Kebebasan orang Papua sudah menjadi cita-cita berbagai elemen Bangsa.
Cita-cita dan semangat mendorong dinamika demokrasi di Papua nyatanya
terus diperhadapkan dalam agen pemukulan dan penguburan gerakan rakyat
semesta. Ranting kemerdekaan universal juga bernama Papua Barat, maka
tidaklah manusiawi, gerakan Papua Merdeka menjadi pilihan luar yang
dapat di dorong secara baik. Mengakibatkan sejumlah suprastruktur
rakyat Papua hanya rapuh dalam tatanan dan semangat keberpihakan akan
kemerdekaan rakyat.
Indonesia, salah satu Negara Islam terbesar di Asia Tenggara secara
institusional “ belum ada UU “ telah melancarkan gerakan mendukung
pentingnya kemerdekaan bagi rakyat Palestine. Tetapi gerakan Papua
Merdeka dalam Negara Indonesia tak mampu dihadapi Indonesia.
Demokrasi-Kemerdeka an dan kebebasan adalah perjuangan-Nya Susilo
Bambang Yudhoyono terhadap rakyat di Palestina. Maka, perjuangannya
Papua merdeka tak boleh dilarang SBY juga.
Eksplorasi imperialis Internasional dan Jakarta atas Bumi Papua
mengedepankan sejumlah alat. Rekayasa kebijakan Aturan anti demokrasi
di Papua adalah dominasi berbagai kebijakan riil atas rakyat Papua.
Tidak hanya di Jakarta, Jayapura dan Manokwari tiga wilayah politik
yang dalam penanganan masalah kerakyatan mengedepankan pemekaran
birokrasi disbanding keberpihakan atas kedaulatan orang Papua.
Kalangan radikalis Papua kadang salah kaprah. Cita-cita mengedepankan
identitas orang Papua tetapi kemudian menutup dada atas kebingisan kaum
kolonialis nyata di Papua. Bicara entitas Papua, tetapi komitmen
menuntaskan kasus Freeport tidak dapat di rasio dimanakah entitas Papua
dan dominasi Kapitalisme atas Papua.
Imperialisme atas Papua adalah baying-bayang menakutkan dan
menggetarkan publik. Demokrasi dicaplok, gerakan dibunuh dengan
pengalihan isu dan provokasi merdeka yang tak beralasan. Perjuangan
menempatkan Perusahaan Freeport yang nyatanya meniadakan sejumlah hak
rakyat Papua, kepentingan politik dan ekonomi orang Papua menjadi
merana dan tak dapat didudukan secara baik oleh sejumlah kalangan
pemerhati. Dominasi modal itu, pembiayaan atas gerakan rakyat imitasi
menjadi keharusan perjuangan kaum imperialis Papua.
Rekayasa menakjubkan adalah, Suaka politik 43 Warga Papua. Orang Papua
ini diperalat Kapitalis Freeport yang bergerak dalam baju Papua merdeka
kemudian memobilisasi gerakan suaka untuk bertujuan mengalihkan isu
dari masalah Freeport yang sedang diperjuangkan orang Papua. Kasus
Freeport dalam usaha penyelesaiaan yang bermartabat, kemudian terpukul
dengan kerja-kerja suaka politik. Dinamika suaka menjadi kenyataan
kebohongannya. Tak ada output politik bagi kepentingan orang Papua
dalam reaksi suaka. Yang ada hanya sejarah pengakuan pemaksaan yang
dilontarkan peserta suaka yang telah pulang. “kami di tipu katanya ke
Australia tuk Papua Merdeka, padahal sampai disana trada apa-apa” .
Rintihan semacam begini sudah banyak terjadi dan sejumlah kubu tak
karuan menyebutkan Papua Merdeka.
Agen anti demokrasi, mereka berjya dalam suprastruktur kolonialisme
Jakarta, imperialism Global. Tiga dari LSM Lokal di Papua disinyalir
didanai oleh Divisi Lima Badan Intelejen Negara Indonesia. Empat dari
Gerakan rakyat Papua merdeka, telah terkooptasi dalam usaha-usaha
mem-proyekaan Papua secara sistematis. Papua merdeka menjadi
tunggang-menunggang . Papua medeka menjadi alasan pengoperasian kemanan
dan legitimasi kehadiran milter di Papua. Apa yang berbeda dari
pejuangan Papua Merdeka sehingga terus saja kehadiran militer di
setujui…?
Broker demokrasi dan kemerdekaan di Tanah Papua berada dalam garis
melakukan sejumlah agenda provokatif saja, usaha-usaha menyatakan
kemerdekaan dengan landasan suprstruktur rapuh. Budaya meng-kanalisasi
Papua bebas dari penjajahan sudah mulai matang. Demokrasi hanya
jargon…Kemerdekaan hanyalah ilusi dan persatuan menjadi gelora gerakan
yang tak punya ilham kemerdekaan sejati.
Pernyataan demokrasi harus dibarengi dengan sikap dan mentalitas yang
kokoh. Kerapuhan kemerdekaan berawal dari keberpihakan patriot dalam
menyuplai dan mendukung dilakukannya usaha-usaha kanalisme demokrasi.
Gelora rekayasa suaka orang Papua, kini dilakukan terulang dengan
bombardir isu referendum Papua. Gerakan bikin takut orang Papua,
meniadakan prospek perjuangan riel.
Produksi Luar Negeri berbendera Papua Merdeka “WPNA-WPCNL-IPWP”
Mau atau tidak mau, tiga nama diatas adalah sejarah organisasi yang
katanya untuk Papua tetapi lahir di Australia, Vanuatu dan Inggris.
Papua adalah wilayah yang dengan begitu luasnya, kehidupan politik
maupun aktivitas demokrasi bisa diminimalisir untuk menciptakan ruang
yang baik bagi dinamika gesekan politik bagi pembebasan rakyat.
Frame ideology tak ditemukan dalam peluncuran organisasi dimaksud.
Sensasi demokrasi, pemerintahan dan bombardir aspek Politik Papua
dengan Perjuangan Timur Leste itulah alasan sensasional didirikannya
organisasi berbaju Papua merdeka di luar negeri. Aspek social orang
Papua yang patronize mampu di olah dalam situasi keinginan membebaskan
diri mereka. Masyarakat yang haus akan kemerdekaan tak bisa dibatasi
dalam ruang-ruang kampanye nasib mereka. Tetapi, ini namanya pembodohan
demokrasi dan eksploitasi cita-cita kemerdekaan. Tangan-tangan
pendukung imoerialisme, haru dibatasi dalam ruang dan gerakan hari ini.
Gerakan Universal mengiyakan kemerdekaan. Jamannya imperialism tak
dibolehkan bersetubuh dalam ranah kemerdekaan rakyat. Hentikan
perjuangan merdeka yang terus larut dalam ruang imperialis itu…
pastikan kemenangan rakyat secara mutlak, jauh dari imitasi demokrasi
dan kanalisasi merdeka.
Globalisasi sudah nyata meniadakan suprastruktur orang
Papua-Supermarket berdiri megah, Petani Papua merana dipinggiran Jalan
dan dibawah pertokoan tanpa ruang dan kesempatan baginya dengan
penyediaan pasar tradisional. Begitu juga, bombardier Refrendum bagi
Papua pasca IPWP di Inggris mengumpulkan sejumlah aktivis berkeliaran
di Taman Makam Theys di Sentani Papua. Pemerintahan Transisi oleh WPCNA
di Australia sekian aktivis ditahan di Manokwari. Dan perjuangan
menggolkan rezim pemerintahan di Vanuatu melahirkan WPCNL.
Apa yang terjadi?. Gerakan-gerakan produksi luar negeri meniadakan
gerakan dalam negeri Papua. Sejumlah gerakan Papua terkooptasi dengan
agen-agen imperialis internasional berwajah Papua. Freeport terus
Berjaya dengan gagasan-gagasan kapitalisme atas Tanah Papua. Terus
menguasai pasar, menguasai lahan orang Papua, terus menguasai emas dan
tembaga orang Papua. Kantong-kantong kehidupan orang Papua sudah
bergeser dan berada dalam tangan kaum kapitalis internasional. Papua
begitu luas daerahnya, rakyatnya terpukul mundur mendiami pedesaan dan
pinggiran. Ruang-ruang perkotaan adalah asset dominasi pasar “capital”.
Kenyataan Negara yang berpihak pada kepentingan imperialism
menghancurkan suprstruktur rakyat. Dinamika ini sudah dijalankan dalam
periode pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Tujuh puluh Lima persen (
75% ) penduduk Papua adalah tertinggal secara ekonomi dan akses
kebutuhan pasar. Negara merdeka adalah kebutuhan menumbuhkan
keberpihakan terhadap rakyat.
Tatanan ekonomi dan politik rakyat sebagai roh bagi kemakmuran dan
keadilan yang diperjuangakan negara. Dinamika sosial dan ekonomi
menjadi pilhan fital yang harus dibangun berdasarkan etika kemakmuran
dan kesejahteraan yang handal. Meniadakan proses akumulasi sosial sama
saja membuang bahkan memukul mundur keyakinan keadilan dan kemerdekaan
yang harus di gapai. Rakyat merdeka, mandiri dan makmur adalah tujuan
dari pendirian sebuah negara, pemerintahan dan teritori tertentu.
Sehingga Pemekaran, Otsus dan Tuntutan Papua Merdeka jika tidak punya
landasan kuat yang memiliki keyakinan keadilan ekonomi dan politik maka
harus diruntuhkan secara pasti.
NB: Foto diatas adalah Pembuangan Limbah Freeport di ambil oleh Penulis
di Mile 32 Timika tahun 2006
--
Posting oleh ARKILAUS ARNESIUS BAHO ke ARKILAUS ARNESIUS BAHO pada
5/16/2009 09:13:00 AM
[http://arkilausbaho .blogspot. com]
Kebebasan orang Papua sudah menjadi cita-cita berbagai elemen Bangsa.
Cita-cita dan semangat mendorong dinamika demokrasi di Papua nyatanya
terus diperhadapkan dalam agen pemukulan dan penguburan gerakan rakyat
semesta. Ranting kemerdekaan universal juga bernama Papua Barat, maka
tidaklah manusiawi, gerakan Papua Merdeka menjadi pilihan luar yang
dapat di dorong secara baik. Mengakibatkan sejumlah suprastruktur
rakyat Papua hanya rapuh dalam tatanan dan semangat keberpihakan akan
kemerdekaan rakyat.
Indonesia, salah satu Negara Islam terbesar di Asia Renggara secara
institusianal “ belum ada UU “ telah melancarkan gerakan mendukung
pentingnya kemerdekaan bagi rakyat Palestine. Tetapi gerakan Papua
Merdeka dalam Negara Indonesia tak mampu dihadapi Indonesia.
Demokrasi-Kemerdeka an dan kebebasan adalah perjuangan-Nya Susilo
Bambang Yudhoyono terhadap rakyat di Palestina. Maka, perjuangannya
Papua merdeka tak boleh dilarang SBY juga.
Eksplorasi imperialis Internasional dan Jakarta atas Bumi Papua
mengedepankan sejumlah alat. Rekayasa kebijakan Aturan anti demokrasi
di Papua adalah dominasi berbagai kebijakan riil atas rakyat Papua.
Tidak hanya di Jakarta, Jayapura dan Manokwari tiga wilayah politik
yang dalam penanganan masalah kerakyatan mengedepankan pemekaran
birokrasi disbanding keberpihakan atas kedaulatan orang Papua.
Kalangan radikalis Papua kadang salah kaprah. Cita-cita mengedepankan
identitas orang Papua tetapi kemudian menutup dada atas kebingisan kaum
kolonialis nyata di Papua. Bicara entitas Papua, tetapi komitmen
menuntaskan kasus Freeport tidak dapat di rasio dimanakah entitas Papua
dan dominasi Kapitalisme atas Papua.
Rekayasa Suaka 43 Warga bukti kemenangan Imperialis
Imperialisme atas Papua adalah baying-bayang menakutkan dan
menggetarkan publik. Demokrasi dicaplok, gerakan dibunuh dengan
pengalihan isu dan provokasi merdeka yang tak beralasan. Perjuangan
menempatkan Perusahaan Freeport yang nyatanya meniadakan sejumlah hak
rakyat Papua, kepentingan politik dan ekonomi orang Papua menjadi
merana dan tak dapat didudukan secara baik oleh sejumlah kalangan
pemerhati. Dominasi modal itu, pembiayaan atas gerakan rakyat imitasi
menjadi keharusan perjuangan kaum imperialis Papua.
Rekayasa menakjubakn adalah, Suaka politik 43 Warga Papua. Orang Papua
ini diperalat Kapitalis Freeport yang bergerak dalam baju Papua merdeka
kemudian memobilisasi gerakan suaka untuk bertujuan mengalihkan isu
dari masalah Freeport yang sedang diperjuangkan orang Papua. Kasus
Freeport dalam usaha penyelesaiaan yang bermartabat, kemudian terpukul
dengan kerja-kerja suaka politik. Dinamika suaka menjadi kenyataan
kebohongannya. Tak ada output politik bagi kepentingan orang Papua
dalam reaksi suaka. Yang ada hanya sejarah pengakuan pemaksaan yang
dilontarkan peserta suaka yang telah pulang. “kami di tipu katanya ke
Australia tuk Papua Merdeka, padahal sampai disana trada apa-apa” .
Rintihan semacam begini sudah banyak terjadi dan sejumlah kubu tak
karuan menyebutkan Papua Merdeka.
Agen anti demokrasi, mereka berjya dalam suprastruktur kolonialisme
Jakarta, imperialism Global. Tiga dari LSM Lokal di Papua disinyalir
didanai oleh Divisi Lima Badan Intelejen Negara Indonesia. Empat dari
Gerakan rakyat Papua merdeka, telah terkooptasi dalam usaha-usaha
mem-proyekaan Papua secara sistematis. Papua merdeka menjadi
tunggang-menunggang . Papua medeka menjadi alasan pengoperasian kemanan
dan legitimasi kehadiran milter di Papua. Apa yang berbeda dari
pejuangan Papua Merdeka sehingga terus saja kehadiran militer di
setujui…?
Broker demokrasi dan kemerdekaan di Tanah Papua berada dalam garis
melakukan sejumlah agenda provokatif saja, usaha-usaha menyatakan
kemerdekaan dengan landasan suprstruktur rapuh. Budaya meng-kanalisasi
Papua bebas dari penjajahan sudah mulai matang. Demokrasi hanya
jargon…Kemerdekaan hanyalah ilusi dan persatuan menjadi gelora gerakan
yang tak punya ilham kemerdekaan sejati.
Pernyataan demokrasi harus dibarengi dengan sikap dan mentalitas yang
kokoh. Kerapuhan kemerdekaan berawal dari keberpihakan patriot dalam
menyuplai dan mendukung dilakukannya usaha-usaha kanalisme demokrasi.
Gelora rekayasa suaka orang Papua, kini dilakukan terulang dengan
bombardir isu referendum Papua. Gerakan bikin takut orang Papua,
meniadakan prospek perjuangan riel.
Produksi Luar Negeri berbendera Papua Merdeka “WPNA-WPCNL-IPWP”
Mau atau tidak mau, tiga nama diatas adalah sejarah organisasi yang
katanya untuk Papua tetapi lahir di Australia, Vanuatu dan Inggris.
Papua adalah wilayah yang dengan begitu luasnya, kehidupan politik
maupun aktivitas demokrasi bisa diminimalisir untuk menciptakan ruang
yang baik bagi dinamika gesekan politik bagi pembebasan rakyat.
Frame ideology tak ditemukan dalam peluncuran organisasi dimaksud.
Sensasi demokrasi, pemerintahan dan bombardir aspek Politik Papua
dengan Perjuangan Timur Leste itulah alasan sensasional didirikannya
organisasi berbaju Papua merdeka di luar negeri. Aspek social orang
Papua yang patronize mampu di olah dalam situasi keinginan membebaskan
diri mereka. Masyarakat yang haus akan kemerdekaan tak bisa dibatasi
dalam ruang-ruang kampanye nasib mereka. Tetapi, ini namanya pembodohan
demokrasi dan eksploitasi cita-cita kemerdekaan. Tangan-tangan
pendukung imoerialisme, haru dibatasi dalam ruang dan gerakan hari ini.
Gerakan Universal mengiyakan kemerdekaan. Jamannya imperialism tak
dibolehkan bersetubuh dalam ranah kemerdekaan rakyat. Hentikan
perjuangan merdeka yang terus larut dalam ruang imperialis itu…
pastikan kemenangan rakyat secara mutlak, jauh dari imitasi demokrasi
dan kanalisasi merdeka.
Globalisasi sudah nyata meniadakan suprastruktur orang
Papua-Supermarket berdiri megah, Petani Papua merana dipinggiran Jalan
dan dibawah pertokoan tanpa ruang dan kesempatan baginya dengan
penyediaan pasar tradisional. Begitu juga, bombardier Refrendum bagi
Papua pasca IPWP di Inggris mengumpulkan sejumlah aktivis berkeliaran
di Taman Makam Theys di Sentani Papua. Pemerintahan Transisi oleh WPCNA
di Australia sekian aktivis ditahan di Manokwari. Dan perjuangan
menggolkan rezim pemerintahan di Vanuatu melahirkan WPCNL.
Apa yang terjadi?. Gerakan-gerakan produksi luar negeri meniadakan
gerakan dalam negeri Papua. Sejumlah gerakan Papua terkooptasi dengan
agen-agen imperialis internasional berwajah Papua. Freeport terus
Berjaya dengan gagasan-gagasan kapitalisme atas Tanah Papua. Terus
menguasai pasar, menguasai lahan orang Papua, terus menguasai emas dan
tembaga orang Papua. Kantong-kantong kehidupan orang Papua sudah
bergeser dan berada dalam tangan kaum kapitalis internasional. Papua
begitu luas daerahnya, rakyatnya terpukul mundur mendiami pedesaan dan
pinggiran. Ruang-ruang perkotaan adalah asset dominasi pasar “capital”.
Kenyataan Negara yang berpihak pada kepentingan imperialism
menghancurkan suprstruktur rakyat. Dinamika ini sudah dijalankan dalam
periode pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Tujuh puluh Lima persen (
75% ) penduduk Papua adalah tertinggal secara ekonomi dan akses
kebutuhan pasar. Negara merdeka adalah kebutuhan menumbuhkan
keberpihakan terhadap rakyat.
Rakyat tertinggal dalam segala hal kebutuhan mereka hari ini, dimanakah
kepentingan Papua menuju merdeka sedangkan keberpihakan elemen Papua
hanya terjebak dalam agenda-agenda perubahan yang diluncurkan dari
Negara luar. Dukung perjuangan didalam Papua, sebagai konsekwensi
mengikis terpukulnya ruang demokrasi. Keberpihakan Papua boleh saja di
luar Papua, tetapi berpihaklah kepada Papua dan bukan agen imperium
internasional.
NB: Foto aksi penduduk sipil di mile 28 Freeport tahun 2006
--
Posting oleh ARKILAUS ARNESIUS BAHO ke ARKILAUS ARNESIUS BAHO pada
5/16/2009 09:36:00 AM
0 Response to "Negara Indonesia Berbentuk Perusahaan."
Posting Komentar