Surat dari Gunung Purei
Pendahuluan :
Tulisan ini sengaja ku masukan di Blogku..karena akan kagum nya akan pribadi dari Om Kusni ...yang waktu itu sering membawa kami diskusi di Rumah Bung Hendra Wijaya Iban,waktu beliau mengarahkan kepada kami tentang IkatanGenerasi Penerus Perjuangan Damai Tumbang Anoi dan beliau cerita ,kenapa beliau minta suaka ke negeri Perancis....dan yang lebih membanggakan bagi saya pribadi karena Om JJ Kusni adalah putra Dayak Katingan ...yang tidak pernah lupa akan kampung halaman dan bahasa nya.
Selamat berjuang Om....di awal tahun ini saya muat kan tulisan mama hung Blog ayung ku
"Omongan Kosong hari -hari Gua"
Kalau ingin lebih tau akan Om JJ Kusni ...Lihat di Negara Etnik di situ beliau memberikan pemikiran dan tujuan hidupnya bagi bangsa dan negara RI
JJ Kusni ,budayawan Dayak ngaju dari Katingan .yang sekarang berwarga negara Perancis dan sosok pemuda dan pemikir Dayak yang lolos dari Rezim Orde Baru.
ANALOGI
Untuk mudahnya kupungut saja pengertian "analogi" seperti yang terdapat dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan & Balai Pustaka [Cetakan pertama, Jakarta, 1988]. KBBI merumuskan "analog" sebagai "sama,serupa" [hlm.33]. Dan mengartinya "analogi" sebagai "persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan" [hlm. 33].
Dua hal berlainan di sini yang aku bicarakan adalah perihal "Dayak" dan "Cina" atau "Tionghoa" yang singgung oleh Lan Fang dalam tulisannya "Dari Lan Fang Di Negara Seni-Sastra-Budaya" [milis apresiasi-sastra, 28 Mei 2006]. Dalam artikelnya yang menarik ini, Lan Fang antara menulis:
"Alih-alih masalah tahu diri, aku jadi merasa konyol dan lucu sendiri ketika melihat intern orang Cina sendiri ribut mempermasalahkan istilah CINA dan TIONGHWA. Secara politis, mereka ngotot minta diakui eksistensinya tetapi berlindung di balik benteng ekslusif bernama TIONGHWA. Aku yakin bahwa istilah TIONGHWA hanya ada di republik Indonesia ini. Di semua negara di belahan dunia mana pun akan memakai kata CINA, termasuk di republik seni budaya sastra. Apakah memungkinkan membuat puisi dengan kata-kata... .....gadis itu seperti putri Tionghwa...bla..bla..--- pasti bikinnya ...gadis itu seperti putri Cina...bla...bla.... Pak Kusni di Paris, Pak Sigit di Swiss, atau siapa pun di luar negeri pasti akan menyapa orang Cina dengan Hallo, are you Chinesee? --- tidak mungkin hallo, are you Tionghwa?
Jauh sebelum debat yang sekarang, seperti dikatakan oleh Lan Fang, berlangsung di kalangan etnik Tionghoa atau Cina Indonesia [dan bisa diikuti antara lain melalui berbagai media elektronik], di kalangan orang Dayak pernah terjadi debat serupa yang hampir tanpa akhir dan tanpa penyelesaian.
Perdebatan berawal dari pandangan bahwa istilah Dayak yang berasal dari penamaan luar mengandung hinaan terhadap manusia Dayak. Orang Dayak sendiri, baik di Borneo atau pun Kalimantan pada waktu tertentu tidak menggunakan istilah Dayak untuk menyebut asal etnik mereka. Yang mereka gunakan misalnya adalah Oloh Katingan, Oloh Kahayan, Oot Danum, Oot Siang, Kayan, Iban, Manyaan, dan lain-lain... Kata Dayak digunakan oleh pihak asing atau luar, sejalan dengan agresi kebudayaan mendahului dan menyertai agresi militer oleh kaum kolonialis sehingga "Dajakers" diartikan sebagai lambang dari segala keburukan dan kejahatan. Masuknya agama Kristen dan Islam membuat keadaan menjadi lebih parah. Manusia Dayak dan kebudayaannya dipandang sebagai "budaya setan" dan "musyrik" sehingga sampai pada periode tertentu, tidak sedikit orang Dayak yang malu mengaku diri Dayak. Konsep ini ditopang oleh para antropolog asing, menggunakan dalih ilmiah [pesudo ilmiah?!] yang mengkategorikan
orang Dayak sebagai manusia dan komunitas primitif. Menghadapi keadaan begini maka manusia Dayak membela diri dengan berhimpun kokoh di sekitar budaya Kaharingan. Pandangan Dayak sebagai "Dajakers" sampai sekarang masih belum punah sepenuhnya. Memperlihatkan betapa kekuatan budaya dan ide yang ditanam sebagaimana kuatnya hetze anti komunis dan "jasa" Soeharto hingga sekarang di Indonesia yang dicekoki oleh Orba selama tiga dasawarsa lebih.
Debat di kalangan Dayak ini berakhir pada tahun 1991 ketika di Pontianak dilangsungkan Kongres Nasional Dayak yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Dayak Borneo-Kalimantan serta wakil dari etnik-etnik lain [lihat dokomuntasi Institut Dayakologi Pontianak]. Kongres memutuskan untuk menghentikan debat tidak perlu mengenai penamaan tersebut, dan sepakat menerima Dayak untuk menamakan etnik utama yang menghuni terutama bagian pedalaman pulau Borneo-Kalimantan. Kongres memandang bahwa yang terpenting bagaimana mengobah hinaan itu sebagai pemicu untuk bekerja menjadikan manusia Dayak sebagai manusia-manusia bermutu sebagaimana yang terkandung pada konsep hidup mati manusia Dayak "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]. Konsep ini kukira sampai sekarang masih tanggap zaman, mungkin juga pulai nilai universal.
Ketika bekerja di Kalimantan Tengah selama bertahun-tahun, konsep ini kemudian aku usulkan dalam kata-kata lain: "Berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi" [lihat: JJ. Kusni, "Negara Etnik. Beberapa Gagasan Pemberdayaan Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah", Fuspad, Yogyakarta, 2000]. Kata-kata kunci bagiku adalah "Dayak Bermutu" dan "Dayak Kekinian".
Yang terpenting dari keputusan-keputusan Kongres Dayak Pontianak 1991 jadinya berintikan : Robah yang negatif jadi positif! Dampak besar dari Kongres ini kemudian diperlihatkan oleh waktu. Kongres Dayak Pontianak 1991adalah awal dari suatu era pemberdayaan diri menyeluruh manusia Dayak tanpa menadah tangan pada belas kasihan, termasuk dari pemerintah yang menyebut diri Republik Indonesia tapi mengabaikan nilai-nilai yang terkandung pada dua kata tersebut.
Menggunakan pengalaman etnik Dayak menyelesaikan debat panjang mereka, aku jadi teringat pada permasalahan yang kau ajukan Xiao Lan yaitu debat di kalangan etnik Tionghoa atau Cina Indonesia mengenai soal nama etnik, dengan mana etnik aku pribadi sangat tersangkut dan terkait erat.
Titik-titik [points] pandanganku, di atas segalanya, bahwa etnik Cina atau Tionghoa Indonesia adalah salah satu etnik yang setara dan punya hak sama di negeri dan Republik ini. Etnik ini pun turut membangun Republik dan Indonesia. [Lihat antara lain: May Swan, "Pahlawan Sungailiat", in:"Matahari Di Tengah Malam", Doea_Lentera, Jakarta, Mei 2006, 207 hlm. Lihat juga karya-karya Denys Lombard dan Claudine Salmon tentang etnik Tionghoa Indonesia; Pramoedya A.Toer: Hoakiao di Indonesia, "Bumi Manusia"]. Karena itu penamaan "warga negara keturunan asing" [WNKA] dan pemberlakuan SBKRI adalah suatu tindak dan perlakuan illegal serta bertentangan dengan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Indonesia dan Republik bukanlah monopoli mayoritas. Dari sudut pandang ini, selayaknya warganegara Republik Indonesia dari etnik Tionghoa atau Cina tidak perlu punya kompleks psikhologis apa pun. Indonesia adalah tanahair dan negeri kelahiran mereka. Ketika berada di Republik Rakyat
Tiongkok, aku saksikan benar, betapa di negara ini , mereka yang terpaksa pergi [aku tidak gunakan istilah "pulang"] menjadi orang asing di sini. Masakan Tionghoa [Cina] Indonesia pun bukanlah masakan Tionghoa [Cina] RRT atau Taiwan. Masakan mereka adalah masakan Indonesia. Karena itu aku sangat paham kemarahan alm. Liem Koen Hian yang mati-matian turut memperjuangkan Republik Indonesia [Republik dan Indonesia] tapi kemudian tidak diperlakukan dengan adil hingga sampai akhir hayatnya ia menolak jadi warga negara RI, tapi juga tidak menjadi warga negara manapun. Semangat Koen Hian adalah semangat Sun Wu Kung, si raja kera putih, yang kukagumi, Xiao Lan. Semangat yang sanggup memberontaki dan mengobrak-abrik kerajaan sorga. Tanpa watak membudak dan membungkuk-bungkuk demi keadilan.
[Sebagai ilustrasi, dan sedikit menyimpang. Jika Sun Wu Kung adalah tokoh sastra, maka pertanyaanku: Seberapa jauh sudah kau sebagai penulis menuangkan mimpimu akan esok yang baik dan manusiawi dalam tokoh-tokoh novel dan cerpenmu?Terus-terang, aku tidak mempertentangkan sastra, dagang dan idealisme. Tinggal pandai-pandainya penulis bermain seperti ikan berenang di sela-selang batu dan karang. Dan kau, Xiao Lan, punya kemampuan serta kemungkinan ini. Sartre, Camus, Sagan, Duras, Sollers, dll.. di Perancis sangat laku].
Kembali ke masalah Cina dan Tionghoa. Dibandingkan dengan posisi etnik Dayak, kukira posisi etnik Cina [Tionghoa] jauh lebih baik. Tapi katakanlah seimbang buruknya dari segi politik. Tapi yang kukira yang terpenting sekarang bukan mempersoalkan soal nama etnik. Tapi menjadi anak manusia berangkat dari kedirian kita, akar budaya kita untuk menjadi anak manusia dunia yang bertanahair. Istilah Cina adalah hasil dari proses sejarah negeri kita yang berada di luar kemauan subyektif. Karena itu kukira yang terpenting sekarang barangkali patut keluar dari debat begini tapi mengobah yang negatif menjadi positif seperti walau pun sebutan Tionghoa di Indonesia patut dipahami mempunyai latar sejarah sendiri. Latar sejarah, politik dan linguistik yang kemudian dikalahkan atau ditenggelamkan oleh arus peristiwa sejarah negeri kita membuat debat Cina dan Tionghoa, barangkali menjadi tidak mendesak atau tidak menjadi pertanyaan penting lagi dibandingkan dengan menjadi
berkeindonesiaan. Ketika Indonesia menjadi kabur dan mengancam harapan, yang terpenting kemudian menjadi anak manusia yang manusiawi dengan berakar budaya yang membayangi kita tanpa bisa kita elakkan. Ini yang kukira tak terusik waktu. Menjadi manusia manusiawi pun bukan sesuatu yang gampang dan sederhana. Karena itu ada sphinx. Tionghoa atau Cina Indonesia adalah suatu identitas seperti halnya Dayak Indonesia. Malangnya juga banyak Dayak tidak lagi paham budaya Dayak. Keindonesiaan dan menjadi Indonesia pun tidak lebih dari suatu gumpalan kabut. Kadang aku berpikir bahwa Indonesia dan manusia Indonesia sekarang masuk kategori negeri dan manusia yang kehilangan diri. Suatu hipotesa! Tema dan pertanyaan ini, kukira juga menjadi pertanyaan menagih jawab selain dari para elite pemegang kekuasaan politik, juga dari penulis dan mereka yang merasa diri penulis, sastrawan, karena memang termasuk wilayah mereka. Salahkah?! Kalau salah, lalu apa arti menjadi penulis, pengarang dan
sastrawan di tengah masyarakat manusia, berbangsa dan bernegeri?!
Analogi dan perbandingan akan memperjelaskan pertanyaan ku.***
Paris, Mei 2006.
----------------------
JJ. Kusni
0 Response to "Surat dari Gunung Purei"
Posting Komentar