PEODALISME DALAM MASYARAKAT TANPA SEJARAH FEODAL

Politik Dinasti juga menjadi salah satu ciri feodal kental terasa dalam kehidupan dewasa ini

Siang hari itu ,Palangka Raya matahari menyengat cukup panas ,jam 12 .30 Wib di tengah waktu istirahat dan seharus nya menikmati makan siang ,dan sempurnalah kehidupan di siang itu,dimana kebutuhan dan keinginan menjadi satu yang mengalir dalam pikiran dan membuat satu keharusan.
Tak lama /beberapa saat habis itu muncul lah iring2an dengan sirene yang meraung2 dan motor patroli polisi dan mobil2 plat merah yang di kawal super-super ketat sekali.

Entah siapakah yang melintas ,semuanya tidak jelas dimana semua kaca mobil tertutup rapat dan para pengawal yng mengendara motor berkacamata hitam dan bersenjata lengkap dan berwajah sangar.

Tidak jauh dari tempat berhentinya iringan tersebut di pingir jalan sudah terpasang spanduk dan bendera merah putih dan barisan tentara,polisi dan tank-tank dalam keadaan siaga satu di jalan2 yang mengarah ke poros jalan yang di lewati oleh mobil2 plat merah, yang bertuliskan

”SELAMAT DATANG BAPAK PRESIDEN RI BAPAK DR.H.SUSILO BAMBANG YUDOYONO DAN GUBERNUR SE INDONESIA DALAM ACARA RAKERNAS
APPSI DI PALANGKARAYA TANGGAL 2-4 DESEMBER 2009”


Dan saat iring-iringan mobil yang di pasang benda seperti dasi terbalik tersebut melintas,dan semua pengguna jalan harus menepi dan menunduk kebingungan ,sementara tidak jauh dari lokasi tersebut ,sekitar 50 meteran terpasang spanduk reklame yang bertuliskan ” jalan ini di bangun dari pajak yang anda bayar ”
Kejadian ini mengingatkan kita juga terhadap budaya lama dimana hal2 seperti itu sdh sering kita tonton di televisi maupun di film2 klosal seperti filem yang berlatar belakang masa kerajaan Majapahit dan Mahabarata,dalam adengan ketika iring-iringan pejabat kerajaan melintasi di perkampungan .Rakyatnya berbaris di pinggir jalan dengan wajah tertunduk dan memegang bendera ,umbul2 dan mengelu-elukan sang pejabat dengan nyanyian dan tarian.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang penulisan ini seperti kejadian yang barusan tidak ubah nya seperti jaman kerajaan tempo dulu.
Ketika penguasa lewat ,rakyat biasa harus minggir seperti kejadian siang itu seperti sejarah Majapahit terulang kembali,dimana di RI ini yang sudah 64 tahun merdeka sang Presiden pidato berkali2 menyebut Demokrasi dan demokratis,pasal 1 ayat (1) UUD 1945 Amandemen ,Cicak Buaya dan lain sebagainya (merdeka!!!!!)
Jaman Feodal sudah lama berlalu,kekuasan mutlak ditangan raja dan ratu dan kaum bangsawan dalam implementasinya hak keturunan atas kekuasaan nya ternyata lebih banyak melahirkan penguasa2 yang lalim dari pada yang arip.
Gemilangnya revolusi Perancis ,dengan mengusung tiga nilai mendasar dalam praktek politik kekuasaan : liberte,egalite,dan fraternite sebagai simbol kemenangan kedaulatan rakyat atas kedaulatan .
Tiga nilai tersebut yng merupakan cikal bakal demokrasi dalam bentuk negara pada masa sekarang ini.
Hari ini demokrasi membawa konsekuensi terhadap jabatan dan kekuasaan sebagai sebuah tanggung jawab atas mandat dari rakyat.
Konsitusi dan hukum sebagai bentuk kontrak sosial yang mengikat tindakan kekuasaan terhadap rakyat, sebagai dasar legalitas berlakunya kekuasan mensyaratkan ,konsitusi dan hukum tidak boleh bertentangan dengan moral dan nilai2 universal sebagai bentuk perlindungan terhadap rakyat.
Kejadian yang terjadi pada siang itu sebagai sebuah paradok dalam iklim demokrasi dan bentuk negara republik seperti Indonesia.
Dimana pejabat dalam kerangka demokrasi berlaku sebagai public servant melewati jalan milik publik yang juga menurutnya dibangun dari pajak rakyat dapat menyingkirkan pengguna lain dalam kondisi yang sama sekali tidak darurat. Perilaku semacam ini lebih mirip perilaku raja atau bangsawan jaman feodal.
Sikap feodalistik juga mendasari pandangan pejabat publik dalam pemerintahan dan intansi pelayanan publik.
Pimpinan selalu benar mengambil sikap kritis teradap tindakan pimpinan dianggap sebagai tindakan meludah muka,sehingga kebebasan berpikir dan mengemukan pendapat menjadi hal yang tabu Hubungan atasan dan bawahan meluas tidak hanya dalam kerangka kerja namun juga di ruang pribadi,sehingga batas personal dan profesional menjadi bias. Wewenang tugas meluber memasuki batas personal.
Kasus Nasional Cicak vs buaya dapat dilihat sebagai akibat budaya feodal yang berorientasi pada jabatan pangkat dan kedudukan secara vertikal ,bukan secara tugas dan tanggung jawab sebagai pemegang mandat rakyat. Pendekatan elit dalam penyelenggaraan demokrasi menjadi pola umum yang berlaku.
Dalam pemerintah terdapat beberapa jabatan yang berhubungan dengan sisi sosial masyarakat yang menduduki jabatan ketua adalah mereka yang menduduki sesuatu jabatan tertentu. Sebagai contoh ,ketua tim PKK dapat di pastikan adah istri gubernur pada tingkat provinsi dan istri bupati pada tingkat kabupaten. Ketua ranting,cabang sampai nasional pramuka secara berurutan sesuai jabatan pemerintahan dari Presiden sampai Camat.
Selain itu di dominasi pejabat dalam dalam ruang kemasyarakatan lain juga mendominasi,pengda olahraga didominasi pejabat,dan bukan masyarakat olahraga itu sendiri. Jabatan seolah di takdir bagi mereka yang memiliki kuasa,sedangkan fungsi sosial dari lembaga yang berhubungan dengan masyarakat lebih menekan kan pada formalitas operasional dari lembaga dan bukan pada lembaga substansinya.
Akhirnya keberadaan lembaga tersebut tidak dapat menjangkau masalah secara supstansi namun hanya secara formal dan polits. Dan bila gejala yang muncul mengindikasikan kagagaan ,jawaban yang muncul pasti menyalahkan masyarakat : masyarakat kurang peduli,masyarakat kurang partisipatip dan sebagainya.
Politik Politik Dinasti juga menjadi salah satu ciri feodal,kental terasa dalam kehidupan dewasa ini.Kalimantan Tengah beberapa nama belakang menjadi sebuah penanda kekuasaan . Status seseorang karena nama belakangnya membawa dampak pada posisinya dalam kehidupan sosial .Masyarakat pun menerima nya demikian .Hampir tidak dapat ditemui pandangan mengenai kualitas yang menjadi tolok ukur .Nama belakang menjadi suatu kebanggaan abstrack.Saya anak anu,saya keponakan ini,saya sepupunya itu dan lain sebaginya (seperti penulisan marga di tanah Batak ) menjadi hal biasa kita dengar dan menjadi dasar penempatan status dalam masyarakat
Demokrasi sendiri dapat dilihat dari dua sisi :
Demokrasi secara prosedural
danDemokrasi secara substansial
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia jika di lihat secara prosedural sudah terlaksana dengan baik,namun secara substansial lebih tampak feodalistik. dari pada demokratis.
Yang menjadi kekawatiran kita ,apakah mungkin sebuah bangunan demokrasi dapat bertahan bila di topang oleh pondasi feodalistik yang menjadi kontradiksi dalam sejarahnya juga dalam watak dan nilai dasarnya ?
Meluasnya kultur feodal berarti mempersempit tumbuhnya kekuatan penyeimbangan kekuasaan dari rakyat karena semua organisasi rakyat yang tumbuh dalam kultur feodal cenderung menjadi subordinasi dari kekuasaan dan dengan sendirinya menjadi bagian dari alat kekuasaan.
Kesenjangan antara prosedural dan substansi dalam pelaksanaan demokrasi dapat menjadi lobang hitam yang akhirnya menyeret peradaban kembali kemasa sebelumnya ,zaman kegelapan ,seperti dikatakan sebuah bank punk yang salah satu personelnya meraih doktor bidang Filsafat,Bad Religion :welcome to the New Dark Ages.(Catatan Paulus Alponz.Y D pada rubrik opini HU Tabengan edisi 19 November 2009
Dan beliau adalah Akademisi dan Praktisi Sosial)

Palangkaraya 3 Desember 2009

Thomas Wanly

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "PEODALISME DALAM MASYARAKAT TANPA SEJARAH FEODAL"

Posting Komentar