Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Nomor:
161/PI/KP-PRP/ e/XII/09
(Disampaikan
Pada Hari Hak Asasi Manusia dan Kongres Hari Ibu)

Tetap
Oposisi: Lawan Reformasi Neoliberal1!

Jakarta, 10 Desember 2009

Pipa-pipa
menancap di tubuh pertiwi kita

Asap-asap
dari pabrik-pabrik

Mengotori
pertiwi kita, Pak!

Limbah-limbah
membuat sungai-sungai

dan
kali-kali tercemar.... ........

Kami
terpaksa tutup hidung, Pak!

Pertiwi
kita menangis

Pertiwi
kita butuh kamu, Pak!

(Fitri
Nganti Wani, putri Wiji Thukul, “Pulanglah,
Pak!”)

Kawan-kawan
seperjuangan,
Hari
ini kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember, hari
kemarin kita memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia 9 Desember, dua
minggu yang akan datang kita memperingati Hari Kongres Ibu 22
Desember, dan dua minggu yang lalu pula kita telah memperingati Hari
Internasional Kekerasan terhadap Perempuan 24 Nopember. Hari-hari
yang kami sebutkan itu berbeda dalam perspektif waktu dan ruang,
namun mempunyai pertautan pada ujung yang sama di Indonesia, yakni
kebrutalan mafia kekuasaan
yang dipimpin oleh seorang patron ekonomi-politik untuk merepresi
gerakan oposisi. Soeharto adalah patron ekonomi-politik yang berhasil
menyusun mafia kekuasaan Orde Baru, yang melakukan pelanggaran HAM
sejak Tragedi 1965 sampai dengan penembakan mahasiswa tahun 1999,
melakukan korupsi secara sistemik, membiarkan brutalitas militer
merajalela terhadap perempuan dalam situasi konflik di Papua, Aceh,
Jawa, Timor Leste, dan mengukuhkan ideologi koncowingking
(peran
domestik) untuk depolitisasi perempuan Indonesia.
Presiden
SBY maupun presiden
sebelumnya ternyata tidak ada yang secara tuntas menyelesaikan
pelanggaran HAM di masa Soeharto. Sekali pun membentuk KPK untuk
memberantas korupsi dan membuka akses perempuan ke ranah politik,
namun pada dasarnya membiarkan berbagai macam pelanggaran HAM di masa
Orde Baru, korupsi, dan kekerasan terhadap perempuan hanya tersentuh
secara tebang pilih lalu kasusnya mengambang tanpa kabar.

Kawan-kawan
seperjuangan,
Mafia
kekuasaan orde SBY yang akan berkuasa hingga 2014 jelas tanpa agenda
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia (gross
violation of human rights)
di masa lalu. Mari kita buka apa yang dibahas di dalam National
Summit yang
diselenggarakan 29-30 Oktober 2009 di Hotel Bidakara, Jakarta
Selatan, tak lama setelah rezim SBY dilantik sebagai presiden RI.
Ternyata National Summit
hanyalah pertemuan untuk
menyusun perencanaan strategis (renstra) program rezim ini dalam
perspektif pemulihan krisis neoliberal. National
Summit bukanlah istilah
yang dipahami rakyat pekerja secara umum dan karena ia memistifikasi
arti sejatinya. Padahal arti sejati National
Summit adalah koordinasi
antara aparatus rezim SBY dengan dewan pengusaha, yang terhimpun
dalam Kamar Dagang Indonesia (Kadin), untuk menjabarkan agenda
neoliberal selama lima tahun mendatang. Simaklah, apa artinya 80%
panitia National Summit
dipegang oleh anggota Kadin di bawah koordinasi Menko Ekonomi?
Tidak lain bahwa perencanaan program strategis Indonesia dalam 100
hari ataupun lima tahun mendatang ditujukan kepada kaum pengusaha.
Tak ada program untuk penyelesaian pelanggaran berat hak asasi
manusia di masa lalu. Tak ada pula program kesejahteraan untuk kelas
pekerja.
Bila
kita blejeti renstra tersebut sesungguhnya membangun tiga sendi
program neoliberal, yakni pembangunan infrastruktur,
revitalisasi pengusaha mikro-kecil- menengah dan pasar
tradisional, serta
neo-institusionalis asi2,
yang seluruhnya akan berupa program deregulasi atau neo-regulasi
serta debirokratisasi atau neo-birokratisasi.

Untuk
rentang 100 hari pemerintahan rezim SBY, mereka menjanjikan revisi
regulasi ataupun pembuatan regulasi baru dan pemangkasan birokrasi
ataupun penciptaan biro/lembaga baru, yang direncanakan akan mencakup
15 area perhatian, yang meliputi (1) pemberantasan mafia hukum; (2)
revitalisasi industri pertahanan; (3) penanggulangan terorisme; (4)
mengatasi permasalahan listrik; (5) meningkatkan produksi dan
ketahanan pangan; (6) revitalisasi pabrik pupuk dan gula; (7)
membenahi kompleksitas penggunaan tanah dan tata ruang; (8)
meningkatkan infrastruktur; (9) meningkatkan kredit pinjaman usaha
mikro, kecil, dan menengah; (10) perubahahan iklim dan lingkungan;
(11) usaha pendanaan; (12) reformasi kesehatan dengan mengubah
paradigma masyarakat; (13) reformasi di bidang pendidikan; (14)
kesiap-siagaan penanggulangan bencana; dan (15) koordinasi pemerintah
pusat dan daerah.

Bayangkanlah,
betapa dalam tempo 100 hari ini DPR akan sibuk menerima rancangan
regulasi baru atau pun revisi; serupa juga dengan eksekutif yang akan
dipadati kehebohan untuk membentuk lembaga-lembaga baru atau
merevisi/menghilang kan lembaga yang sudah ada. Terang sudah,
pekerjaan rezim SBY sebagai jongos rezim neoliberal berkutat
dalam urusan mekanisme dan prosedur pembuatan regulasi baru atau
merevisi regulasi yang dianggap kurang menguntungkan agenda
neoliberal, penciptaan lembaga baru untuk menjalankan regulasi dan
menseleksi siapa regulatornya atau pejabat yang menjalankan regulasi
tersebut.

Itulah
memang maksud rezim neoliberal, menjadikan negara sebagai tukang
pencetak regulasi dan birokrasi untuk menjamin investasi pada
industri strategis sekaligus pasar bebas.

Kawan-kawan
seperjuangan,
Bagaimana
renstra ala National
Summit itu dibaca dari
perspektif rakyat pekerja?

Pertama,
rakyat pekerja tidak boleh terkecoh. National
Summit sebenarnya adalah
penjabaran politik pembangunan jangka menengah dan jangka
panjang rezim neoliberal,
terhitung sejak krisis ekonomi global 1997 untuk merestruktur
Indonesia sebagai lahan reproduksi kapital.
Kedua,
bagi pemerintahan rezim SBY, National
Summit adalah usaha
untuk mekanisme koordinasi menjalankan agenda neoliberal
selama lima tahun ke depan, di
mana Kadin menerupakan pintu utama masuknya investasi ke Indonesia.
Program itu sendiri sudah ada dan berjalan, sehingga yang dibahas
hanyalah mekanisme koordinasi antara pemerintah dengan pengusaha
belaka.
Ketiga,
sebagai pemenang Pemilu 2009, rezim SBY tampil sebagai patron
ekonomi-politik di dalam oligarki partai politik borjuasi saat ini.
Dari sini lah mereka menciptakan konsensus ekonomi-politik untuk
mengkonsolidasi gesekan persaingan dan pertentangan di dalam oligarki
tersebut. Politik pembangunan yang telah dikoordinasikan dalam
National Summit
merupakan medan peraupan keuntungan ekonomi politik untuk
kesejahteraan partai politik borjuasi.

Keempat,
rezim neoliberal bukan tidak tahu mengenai kehendak meraup keuntungan
ekonomi politik oleh partai politik borjuasi. Maka rezim neoliberal
menggunakan patronase rezim SBY untuk mengendalikan persaingan dan
pertentangan di antara mereka melalui tata pemerintahan yang baik
(good governance)
yang menekankan pada mekanisme dan prosedur.
Neoliberal juga menuntut dibentuknya lembaga penjamin
keuangan untuk pengamanan
investasi dan pasar bebas.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Mari
kita periksa bagaimana konsekuensi bagi rakyat pekerja ketika tiga
sendi politik pembangunan —pembangunan infrastruktur, revitalisasi
pengusaha mikro-kecil- menengah dan pasar tradisional, serta
neo-institusionalis asi— dijalankan.

Pertama,
tentang politik pembangunan infrastruktur untuk pembuatan jalan tol
di Pulau Jawa dan Trans di Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, dan Papua,
mengancam kepentingan hidup rakyat pekerja. Kendati pembangunan
jalan, terlebih di daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua,
acapkali dianggap berguna oleh rakyat pekerja, tetapi harap
diwaspadai bahwa pembangunan jalan tersebut hanyalah melingkari pusat
industri yang memudahkan jalur transportasi dari dan ke pelabuhan.
Pembangunan jalan ini bukan untuk kepentingan rakyat pekerja,
melainkan kami tegaskan, adalah untuk kepentingan industrialisasi
pertambangan, perkebunan, dan manufaktur.

Menurut
road map
Kadin, contohnya pembangunan jalan tol di Pulau Jawa, telah
direncanakan sepanjang 1.700 km, yang membutuhkan tanah seluas 6.734
Ha, namun sejak 1978-2009 hanya dapat terbangun sepanjang 690 km (639
Ha). Faktor penghambat pembangunan jalan tol ini dikambinghitamkan
pada mekanisme pengadaan tanah karena rumitnya melaksanakan
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang Ada di Atasnya. Dalam UU tersebut dinyatakan,
penetapan ganti rugi berdasarkan musyawarah antara rakyat pemilik
tanah dengan pihak pengusaha atas nama pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah dipandang tidak tegas dalam mengendalikan harga tanah dan
resiko waktu untuk negosiasi harga dengan rakyat petani. Karena itu
para pengusaha pembangunan insfrastruktur menuntut pemerintah untuk:
(1) menerbitkan PERPU tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum
dan melakukan perubahan terhadap UU No. 20 tahun 1961 tersebut,
dengan menyatakan: “Untuk kepentingan umum dan demi hukum hak tanah
dapat dicabut secara otomatis”, di mana Badan Pertanahan Nasional
(BPN) akan bertindak sebagai penanggung jawab pembebasan tanah yang
dapat menggunakan jasa pihak ketiga; (2) pemerintah harus memberi
dukungan agar investasi infrastruktur yang tidak layak menjadi layak
dan dimungkinkan adanya insentif fiskal dari pemerintah dengan syarat
tertentu.
Selain
revisi regulasi tentang tanah, untuk industri pertambangan,
pertanian, perikanan, dan perkebunan, juga dilakukan revisi UU
Kelautan yang mensahkan privatisasi laut untuk industrialisasi
perikanan. Laut serupa tanah yang dikapling oleh pemilik modal untuk
eksplorasi perikanan di perairan Indonesia yang kaya. Sudah barang
tentu, nelayan miskin tanpa perahu tak bisa melaut karena setiap mil
telah menjadi milik pengusaha. Mereka telah hidup dalam masa paceklik
yang tak berkesudahan.
Kedua,
mari kita periksa keadaan buruh-buruh pabrik di Tangerang, Jakarta,
Bandung, Indramayu-Cirebon, Semarang, Surabaya, Samarinda,
Makassar/Maros, dan Medan, yang mengalami PHK (tanpa pesangon) atas
dalih perusahaan mengalami pailit. Contohnya, terjadi PHK terhadap
700 orang buruh perempuan PT
Uni Enlarge Industry Indonesia di
Semarang atas nama palilit —yang dinyatakan oleh Pengadilan Niaga,
Jakarta Pusat. Anehnya, pihak kreditor (China Trust) mengajukan
jadwal pelelangan, yang hal itu seharusnya dilakukan oleh kurator.
Buruh-buruh perempuan dari Semarang ini kemudian meninggalkan
keluarga, pergi ke Jakarta untuk membatalkan proses lelang. Dalih
pailit juga diajukan oleh pemilik PT
Istana Magnoliatama,
Kapuk, Jakarta Utara, yang memproduksi garmen dengan tenaga buruh
perempuan sekitar 400-an orang. Dua tahun lalu para perempuan ini
menduduki pabrik, menjaga, dan mencoba mendayagunakan aset untuk
produksi. Selain dalih pailit, PHK dilakukan dengan cara merumahkan
buruh tetap atau mengubah status mereka menjadi outsourcing.
Kehidupan buruh pun mengalami paceklik berat. Inilah kawan-kawan,
sebuah era yang disebut dekapitalisasi manufaktur sebagai
salah satu petunjuk adanya krisis di dalam kapitalisme.
Anehnya,
upaya meningkatkan kesejahteraan buruh tidak menjadi perhatian dalam
renstra National Summit,
kecuali hanya disebutkan adanya pengaturan UMR sektoral. Padahal ada
yang harus diwaspadai, yakni tentang penataan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) yang berhubungan dengan pembukaan industri baru dan
infrastruktur. Dalam perburuhan akan terjadi fleksibilitas yang
sangat masif. Hubungan kerja menjadi informal dalam pola outsourcing.
Buruh tidak tahu siapa bosnya. Keadaan ini tentulah semakin
menjauhkan harapan adanya kesejahteraan buruh. Perlindungan hukum,
jaminan sosial kesehatan-pendidika n untuk anak buruh tidak ada. Saat
ini status buruh yang bekerja tidak formal semacam itu, menurut data
BPS, telah mencapai 70% Hal ini masih diperparah oleh uji kompetensi
pekerja, yakni diberlakukannya standardisasi kualitas buruh melalui
sertifikat. Ini artinya, makin sulit menjadi buruh dan ketika menjadi
buruh pun, tenaganya dapat dieksploitasi secara bebas serta tidak
bertanggung jawab.
Kalaulah
ada regulasi pemerintah terhadap perburuhan, ternyata hanyalah untuk
mencetak peraturan daerah penerapan KEK dan sistem ketenagakerjaan
yang meliputi upah, outsourcing,
dan bebas pemakelaran buruh. Kawasan industri yang buruhnya belum ada
kesadaran politik dan jauh dari pusat birokrasi sering direlokasi
dengan atau tanpa PHK untuk pembangunan insfrastruktur. Contohnya di
Sumedang, Subang, Cirebon, Jawa Tengah, dan daerah lainnya.
Ketiga,
saat ini meluasnya penggusuran masyarakat kampung kota demi penataan
kota secara kapitalis, di mana setiap jengkal tanah untuk komoditi,
telah merambah ke kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sekaligus
dengan adanya kebutuhan tanah untuk KEK dan pembangunan
infrastruktur, penggusuran pun terjadi secara massal di pedesaan.
Pembangunan kota kapitalis dimaksudkan sebagai sarana pertumbuhan
ekonomi berbasiskan belanja. Lalu demi kepentingan ini, rezim SBY
merevitalisasi usaha mikro-kecil- menengah dan pasar tradisional.

Keempat,
kita telah dan akan semakin menyaksikan rezim SBY mencetak
lembaga-lembaga baru sebagai penjamin dan pengawas proses
neoliberalisasi di Indoensia yang dewasa ini digenjot untuk pemulihan
krisis ekonomi global.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Menyimak
keadaan yang dialami rakyat pekerja dan renstra rezim SBY ke depan,
semakin terasalah perang penghancuran kehidupan rakyat pekerja
berkobar di mana-mana. Sampai akhir tahun ini, bahkan ketika korupsi
terbongkar untuk membangun mafia kekuasaan dan memenangkan patron
ekonomi-politik saat ini di Indonesia, para “Buaya” koruptor yang
menjarah hak rakyat ini masih dapat berdalih. Dengan dalih itu pula
para pelanggar berat hak asasi manusia di masa lalu hingga saat ini
dapat berkuasa tanpa tersentuh proses peradilan (impunitas).
Cara-cara untuk mewujudkan keadilan transisional dengan menyelesaikan
pelanggaran berat HAM yang dilakukan rezim Orde Baru, untuk
pembungkaman rakyat pekerja selalu dibekukan di tengah jalan.
Sedangkan pola korupsi di kalangan mafia kekuasaan telah hidup pula
secara endemik di kalangan rakyat pekerja akibat perputaran sumber
ekonomi hanya berada di lapisan kekuasaan. Maka mafia kekuasaan di
Indonesia telah membangun jaring-jaring sosial yang membuatnya aman,
selain karena dalih, juga karena menjadi jongos rezim neoliberal.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Setelah
melihat gambaran situasi nasional seperti itu, yakni gambaran
reformasi neoliberal sedang bekerja di Indonesia di bawah
kepemimpinan sebuah mafia penguasa, sangatlah dibutuhkan keberanian
sejati rakyat pekerja untuk melawan dengan mengajukan politik
pembangunan tandingan.

Rakyat
pekerja harus membangun kekuatan yang meluas, dari sektor tani,
buruh, nelayan, mahasiswa, perempuan, dan kaum urban yang hidup
melata di perkotaan, untuk menempatkan diri sebagai oposisi
terhadap reformasi neoliberal.
Gerakan rakyat antikorupsi yang disimbolkan sebagai cicak-cicak
melawan buaya, harus disertai struktur mobilisasi massa yang
menjadikan “Cicak
vs Buaya” sebagai simbol pertentangan atau kontradiksi kelas
tertindas (Cicak) dengan penindas (Buaya). Jelaskan pada massa rakyat
pekerja, bahwa “Cicak vs Buaya” bukanlah hanya simbolisasi pada
kasus “Bibit-Chandra vs Kepolisian-Kejaksaa n” atau pertentangan
antarelit politik semata, tapi juga simbol untuk kaum buruh, tani,
nelayan, urban miskin kota, dan lain-lain, sebagai “Cicak”, serta
“Buaya” bagi koruptor, pemilik modal, rezim SBY, rezim
neoliberal, dan penindas lainnya. Oposisi “Cicak”
adalah oposisi kelas terhadap “Buaya” dan
ini merupakan perjuangan panjang di semua lini yang dipimpin oleh
kaum “Cicak”.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Maka
bukan hanya hari ini kita berbaris sebagai “Cicak” vs “Buaya”
di seluruh Indonesia. Di hari-hari besok pun kita akan tetap berbaris
sebagai oposisi. Waspadai usaha-usaha yang memecah belah kesejatian
perjuangan kaum “Cicak”, dengan berbagai kemungkinan pembelokan
ke arah perjuangan yang menghancurkan rakyat pekerja.

Jangan
lelah beroposisi menuju Sosialisme.

Sosialisme, Jalan Sejati
Pembebasan Rakyat Pekerja

Sosialisme, Solusi Bagi
Krisis Kapitalisme Global

Bersatu, Bangun Partai
Kelas Pekerja






Jakarta,
10 Desember 2009
Komite
Pusat
Perhimpunan
Rakyat Pekerja
(KP-PRP)




Ketua Nasional


Sekretaris
Jenderal




ttd.
(Anwar Ma'ruf)


ttd.
(Rendro Prayogo)






1Neoliberalisme
mengatur negara sebagai pasar bebas untuk investasi, untuk
menggunakan tenaga kerja, untuk menjual barang-barang (pasar
konsumen), dan untuk itu mengubah fungsi pemerintahan negara hanya
sebagai pembuat regulasi (peraturan-peratura n) yang mendukung
situasi pasar bebas. Dalam situasi krisis, rezim neoliberal
memerlukan reformasi kebijakan keuangan, penataan pasar bebas, dan
sebagainya melalui revisi regulasi atau pembuatan regulasi baru,
disertai pula pembangunan badan-badan negara sebagai penjamin dan
pegawas regulasi. Pekerjaan inilah yang akan dijalankan oleh
pemerintahan SBY.

2Kebijakan
pemerintah untuk membentuk badan-badan di luar departemen yang
difungsikan sebagai pelaksana regulasi di bidang keuangan, hukum,
politik, dan sebagainya. Badan ini bisa berstatus ad-hoc atau
berstatus sebagai komisi negara. Contohnya di bidang keuangan yang
berstatus ad-hoc, yakni ketika ada banyak bank-bank yang
bangkrut pada krisis 1997 dibentuklah BLBI. Contoh yang berstatus
komisi negara untuk memberasntas korupsi dibentuklah KPK.

filtered {margin:0.79in; }P {margin-bottom: 0.08in;}- ->___**** *___Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu Bangun Partai Kelas Pekerja!

Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KP PRP)
JL Kramat Sawah IV No. 26 RT04/RW 07, Paseban, Jakarta Pusat
Phone/Fax: (021) 391-7317
Email: komite.pusat@ prp-indonesia. org / prppusat@gmail. com / prppusat@yahoo. com
Website: www.prp-indonesia. org

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja"

Posting Komentar