Pesan Untuk Presiden SBY Dalam Pertemuan Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesai (APPSI) di Palangakraya.

Paper Briefing Walhi Kalteng

Pesan Untuk Presiden SBY Dalam Pertemuan Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesai (APPSI) di Palangakraya.



Menagih Komitmen SBY Untuk Menurunkan Emisi

Dan

Menuntut Keadilan Iklim Atas Solusi Perubahan Iklim Global



Palangkaraya, 1 Desember 2009

Perubahan iklim merupakan keniscayaan, bukti nyata atas terjadinya perubahan iklim yang saat tidak bisa ditawar lagi karena mulai dirasakan oleh umat manusia dibumi. Bukti nyata adalah mencairnya es dikutub utara dan selatan, meningkatnya suhu permukaan bumi, siklus cuaca yang tidak menentu dan sering terjadinya badai yang tidak bisa diperkirakan. Hal tersebut menandakan bahwa perubahan iklim global sedang menujukan kondisi bumi yang sedang bermasalah dan planet yang kita huni sudah mulai memasuki ambang kehancuran. Penyebab utama dari pemanasan global ini adalah meningkatnya efek rumah kaca dimana merupakan fenomen alam akibat meningkatnya kosentrasi Gas rumah kaca ( CO2, Metan, dan CFC) di atmosfer.

Akibat dari perubahan iklim akan berdampak pada penghidupan masyarakat terutama negara-negara selatan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan dan pesisir, Indonesia memiliki resiko tinggi dan ancaman berupa tengelamnya pulau-pulau kecil, erosi di wilayah-wilyah rentan, dan ancaman atas wilayah kesatuan republik Indonesia yang akan berkurang; selain itu juga pengungsi internal akan meningkat, wabah penyakit muncul dimana-mana, banjir dan longsor, perubahan masa tanam, rawan pangan dan rawan air besih akibat keringan dan badai tropis semakin meningkat yang akan mencekik kehidupan. Parahnya situasi itu akan mempengaruhi penduduk miskin dimana jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan) di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 34,96 juta jiwa (15,42%) dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah pedesaan dan pesisir yang rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Tentunya angka kemiskinan dan penyakit akan meningkat dari tahun ketahun akibat dampak dari perubahan iklim dan ditambah dengan makin sempitnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

Akar persoalan dari perubahan iklim adalah paradigma pembagunan global yang rakus akan energi dan cenderung mengekploitasi sumberdaya alam untuk pemenuhan energi dan komsumsi negara-negara maju. Hampir 80 % penyumbang emisi adalah dari negara-negara maju (anex 1) atas emisi dari aktivitas industri yang mengunakan bahan bakar fosil kemudian negara-negara selatan yang memiliki hutan tropis juga ikut menyumbang atas pelepasan emisi karena tingginya degradasi dan deforestasi hutan akibat pengundulan dan kebakaran hutan. Indonesia merupakan penyumbang nomor 3 terbesar setelah amerika dan china akibat dari rusaknya hutan karena ekpolitasi sumberdaya yang masif dan merusak diberbagai wilayah di Indonesia yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutannya.

Kalimantan tengah merupakan salah satu wilayah yang menjadi penyumbang emisi akibat deforestasi hutan dan rusaknya lahan gambut dan sering terjadinya kebakaran hutan yang banyak melepaskan karbon. Kerusakan hutan akibat ekploitasi sumberdaya alam seperti konsensi kehutanan, konversi hutan ke perkebunan sawit dan hutan tanam industri dan aktivitas pertambangan di kawasan hutan menjadi penyebab utama kerusakan hutan di kalimantan tengah, bahkan angka lahan kritis di kalimantan pada tahun 2009 mencapi 9, 595 juta ha. Di sisi lain Kalimantan tengah memiliki luasan gambut sebesar 3,101 juta ha merupakan 53,75 % dari keseluruhan kawasan gambut yang tersisa dipulau kalimantan yang diprediksikan memiliki simpanan karbon sebanyak 6,351.52 giga ton. Namun sayangnya hampir 35 % kawasan gambut di kalteng sudah rusak karena pembukaan kawasan eks PLG 1 juta ha, dan konversi untuk perkebunan sawit dan aktivitas ekonomi lainya.

Menagih Komitmen SBY untuk menurunkan emisi dan intervensi kebijakan pemerintahan daerah

Indonesai menjadi salah satu ujung tombak dari penyelamatan iklim dimana indonesai masih memiliki peluang untuk menyelamatkan hutanya dengan menekan deforestasi hutan tropis dan perlindungan kawasan gambut. Sejak dari pertemanuan COP 13 di Bali pada tahun 2007 yang menghasilkan Bali Action Plan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki posisi yang strategis dari solusi perubahan iklim. Ini juga diperkuat oleh pidato SBY dalam forum G 20 di Pitsburgh yang menyatakan komitmen indonesai untuk menurunkan emisi dari 21 persen menjadi 41 persen pada tahun 2020. Tentunya hal ini bukan hanya menjadi retorika belaka dan harus menjadi komitemen yang jelas dan rencana aksi secara nasioanal terhadap penurunan emisi tersebut. Pemerintah harus mulai memperbaiki tata kelola pengelolaan kehutan dengan memastikan keterlibatan masyarakat dalam pegelolaan sumberdaya alam dan menghentikan investasi yang merusak yang mangeksploitasi sumberadaya alam terutama menghentikan perijinan konversi hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan dan hutan tatanam industri yang merupakan penyebab deforestasi dan degradasi hutan di indonesia. Selain itu yang paling penting adalah penyelamatan kawasan gambut sebagai penyimpan karbon (karbon sink) terbesar. Isue ini harus menjadi salah satu isue yang seharusnya dibahas dalam rakernas Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada tanggal 1- 3 Desember 2009. Dimana pemerintahan provinsi harus memiliki komitmen untuk manjaga hutan karena salah satu penyebab deforestasi dan degradasi hutan disebakan oleh pelaksanaan otonomi daerah yang mengejar anggaran dengan mengekploitasi sumberdaya alam yang mengakibatkan hancurnya hutan dan kawasan gambut. Para gubernur yang berkumpul dalam pertemuan ini juga harus bertanggung jawab penuh atas kebijakan pengerukan Sumberdaya alam yang diakibatkanya dan segera memperbaiki kebijakan yang lebih pro lingkungan dan pro rakyat.

Salah satu moment yang paling menentukan adalah momen COP 15 di Copenhagen dimana salah satu titik krusial yang akan menentukan solusi perubahan iklim karena mekanisme protokol kyoto yang akan habis pada tahun 2012 dan butuh komitmen baru atas solusi perubahan iklim. Para pemimpin dunia harus mengambil peran nyata atas solusi perubahan iklim termasuk Indonesia harus menentukan sikapnya atas komitmen SBY terkait penurunan emisi dengan kerangka kerja yang jelas dan terinternalisasi hingga daerah dan menghargai hak-hak warga atas keselamatan sebagai bagian dari solusi perubahan iklim.

Solusi perubahan iklim tanpa komitmen negara maju untuk menurukan emisi dan menghargai hak warga atas keberlanjutan penghidupan adalah solusi yang tidak berkeadilan.

Kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim sudah lama memikirkan tentang solusi dari perubahan iklim, namun sayangnya argumen-argumen yang disampaikan tidak berangkat dari kesadaran dan pengakuan gagalnya model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dimana ketimpangan negara utara dan negara selatan merupakan hasil sampingan proporsi dari produksi yang tidak seimbang dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh oleh sebagian warga dunia. Solusi-solusi yang dikeluarakan lebih menguntungkan negara maju sehingga penting melihat konteks keadilan iklim dalam upaya pencarian solusinya dan tidak pernah mengarah kepada penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer. Dua agenda pokok yang selalu dibicarakan adalah upaya-upaya penyelesaian lewat teknologi dan pengaturan kembali lahan-lahan (terutama wilayah hutan) agar terus dapat menjaga stabilitas atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia hasilnya 'tidak menegosiasikan reduksi emisi gas rumah kaca sebagai hal utama' tetapi lebih sebagai 'bagian dari tawar menawar yang lebih luas antara negara-negara utara dan selatan, yang berkompetisi pada kepentingan atas energi dan kepemerintahan yang dihadapkan dengan masalah-masalah ekonomi yang bertumbuh, mengembangkan investasi di masa datang akan semakin penting tetapi menjadi lebih sulit.

Negara maju kemudian juga melemparkan tanggung jawab kepada negara selatan untuk bertanggung jawab atas kerusakan hutan, padahal apabila di tilik lebih jauh dari sejak jaman kolonialisme negara selatan termasuk indonesia adalah negara yang telah di hisap sumberdaya untuk pemenuhan industri negara maju.

Padahal Target penurunan emisi hingga saat ini belum pernah dicapai oleh negara-negara Annex 1. Negara-negara non-Annex yang merupakan sumber bahan-bahan mentah alami masih berkutat pada upaya meraup dana-dana bantuan dan investasi menggunakan kerangka kerja perubahan iklim. Sementara itu, upaya penurunan dengan target tertentu di negara selatan yang dijanjikan sejumlah dana memiliki implikasi-implikasi serius bagi warga setempat karena mengingat sebagian besar negara tersebut memiliki karakter pemerintahan yang sentralistik, otoriter dan korup termasuk indonesia.

Pada banyak kasus di Indonesia, upaya-upaya mengejar target pembangunan mulai dari industri ekstraktif hingga perluasan kawasan konservasi memiliki nuansa pelanggaran pengorbanan kehidupan warga setempat. Bahkan upaya-upaya penyelesaian teknologik pun dapat menghasilkan pelanggaran hak atas warga untuk hidup selamat dalam satu wilayah.

Solusi perubahan iklim salah satunya adalah REDD ( Reducing Emision From Forest Degradation and Deforestation) juga menjadi hangat dibicarakan padahal sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak rakyat atas sumberdaya alam dimana tata kelola kehutanan di Indonesai masih bermasalah karena pengakuan hak atas kawasan oleh masyarakat lokal/ adat masih belum diakui secara penuh oleh pemerintah.

Dana REDD kemudian menjadi momok yang menakutkan sekaligus mengiurkan karena dana yang ditawarkan oleh negara maju yang begitu besar akan menjadi daya tarik yang didalamnya terkandung bom waktu yang mengancam konflik baru dan keselamatan warga.

Solusi perubahan iklim seharunya menghargai hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi atas prinsip-prinsip keselamatan rakyat, pemulihan keberlanjutan layanan alam, dan perlindungan produktifitas rakyat dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak terselamatkan akibat dampak perubahan iklim dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim secara berkeadilan.

Negara anex 1 pimpinan amerika serikat harus menunjukan komitmen yang luas untuk menurunkan emisi mereka dalam pembicaraan UNFCCC di Copenhagen pada 7-18 desember tahun 2009 ini dengan mendorong untuk mencapai kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang adil dan memadai, yang akan menjamin masa depan kita dan generasi yang akan datang. Kesepakatan tersebut selayaknya mengakui bahwa negara-negara kaya telah membuat kerusakan iklim terbesar dan mereka seharusnya melakukan tindakan terlebih dahulu. Selain itu, kesepakatan tersebut selayaknya:

1. Komitmen Negara-negara industry maju (terdaftar dalam “Annex I”) untuk sekurang-kurangnya mengurangi 40% emisi dalam negeri mereka pada 2020, dengan menggunakan energi ramah lingkungan, transportasi lestari and mengurangi kebutuhan energi.
2. Pengurangan tidak boleh dicapai dengan pembelian kredit karbon dari Negara-negara berkembang atau dengan pembelian hutan di Negara-negara berkembang untuk “mengganti kerugian” pembuangan emisi yang berkelanjutan di dunia industri.
3. Negara-negara maju harus menyediakan tambahan uang kepada negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan cara yang bersih, dan untuk mengatasi banjir, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kesepakatan tersebut selayaknya menjamin bahwa uang ini dibagikan secara adil dan transparan.

Tanpa ketiga hal tersebut hasil kesepakatan dan solusi perubahan iklim akan menjadi monster baru yang menakutkan yang akan melegalkan penjajahan ekologis di negara-negara berkembang dan akan mengancam keselamatan warga yang tidak mampu berdaptasi akibat perubahan iklim.



###



Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah

Jl. Cikditiro No. 16 Palangkaraya 73112 Kalimantan Tengah ; Indonesia
Telp : +(62(0) 536-3226437,
Fax : +62(0) 536-3238382
e-mail : kalteng@walhi. or.id
: rompas@walhi. or.id
Web : http://www.walhi. or.id/kalteng

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pesan Untuk Presiden SBY Dalam Pertemuan Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesai (APPSI) di Palangakraya."

Posting Komentar