Sampai mati pun tetap ku hadapi
Kompas, 5 Desember 2009
Oleh : Khaerudin
Tak ada keraguan sedikit pun pada diri Sapuani. Suaranya tegas, wajahnya menatap lurus ke arah para pembicara panel internasional workshop tentang hak atas tanah yang digelar dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil di Hotel Istana Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (1/11) sore itu.
Pertanyaan sederhana Sapuani mewakili ribuan warga desa di berbagai pelosok Indonesia, korban keserakahan pemilik modal besar yang ingin membuka perkebunan sawit seluas-luasnya.
”Apakah perusahaan-perusaha an itu punya hak untuk menggusur ladang yang sudah diolah nenek moyang kami bertahun-tahun silam? Apakah mereka berhak merampas mata pencarian kami?” ujar Sapuani.
Sapuani adalah warga Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Dia datang bersama dua warga Desa Runtu lainnya, Sahridan dan Suriansah. Mereka saat ini masih berkonflik dengan PT Surya Sawit Sejahtera, anak perusahaan United Plantation, perusahaan perkebunan asal Malaysia yang menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Hadir dalam Pertemuan Ke-7 RSPO di Kuala Lumpur menjadi perjalanan terjauh bagi Sapuani, Sahridan, dan Suriansah seumur hidup mereka. Mereka hanya warga pedalaman yang tidak pernah pergi meninggalkan ladang. Satu-satunya perjalanan jauh yang mereka tempuh hanya ke Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.
Forum pertemuan RSPO menjadi alternatif mereka mencari jalan keluar dari konflik dengan perusahaan perkebunan sawit. RSPO dianggap sebagai organisasi yang memiliki komitmen mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan minyak kelapa sawit secara kredibel dan bertanggung jawab. Dengan merangkul pemangku kepentingan dari tujuh sektor, produsen minyak sawit, pedagang dan pemroses minyak sawit, industri pengguna minyak sawit, pengecer, bank dan investor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan dan bidang pembangunan dan sosial, RSPO menjadi harapan masyarakat korban keserakahan pemilik modal.
Tiga warga Desa Runtu itu datang ke Kuala Lumpur difasilitasi oleh Sawit Watch, LSM yang menjadi anggota RSPO. Konflik yang terjadi sejak ladang mereka dibabat buldoser milik PT Surya Sawit Sejahtera tahun 2006 itu memasuki babak baru. Dalam pertemuan RSPO yang digelar pada 1-5 November, ketiganya dijadwalkan bertemu dengan pihak HSBC, kreditor anggota RSPO yang mendanai United Plantation.
Ketegasan Sapuani memperjuangkan hak atas ladang yang digarapnya bertahun-tahun juga ada pada diri Sahridan dan Suriansah. Bahkan, Sahridan dan Suriansah pernah mendekam di penjara gara-gara memperjuangkan hak mereka. Sahridan dihukum delapan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Kotawaringin Barat karena dituduh memalsukan tanda tangan dalam sebuah dokumen.
Sahridan menuliskan tanda tangan orang lain yang memiliki ladang di sebelah ladangnya. Saat itu ia hendak mengurus surat keterangan tanah (SKT) kepada kepala desa. Orang yang dia palsukan tanda tangannya kebetulan berada di Palangkaraya. Sahridan pun sudah meminta izinnya dan diperbolehkan.
SKT diperlukan sebagai alas hak sederhana atas bekas hutan yang diusahakan menjadi ladang sejak berpuluh tahun lalu oleh warga Desa Runtu. ”Anehnya, orang yang tanda tangannya saya tulis malah enggak menuntut saya, tetapi saya tetap dinyatakan bersalah,” katanya.
Rupanya SKT digunakan sebagai salah satu jalan memuluskan rencana ekspansi perusahaan sawit. Warga yang menolak ladangnya dipindahtangankan kepada perusahaan perkebunan sawit, selain kesulitan mendapatkan tanda tangan kepala desa, juga menjadi sasaran tuntutan pidana, seperti yang dialami Sahridan.
Tak berbeda dengan nasib Sahridan, Suriansah juga terpaksa mengenyam pahitnya mendekam di dalam jeruji sel penjara karena mempertahankan ladang yang dia garap. Bersama Hendra, anaknya, Suriansah memukul aparat desa yang membantu perusahaan sawit membuldoser ladang mereka. ”Hendra emosi melihat ladang yang dibuka bapaknya sejak dia masih dalam gendongan dirusak begitu saja,” ungkap Suriansah.
Menuai hasil
Berjuang hingga forum internasional menjadi pilihan mereka yang menjadi korban ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Meski ada banyak yang belum menuai hasil seperti warga Desa Runtu, tak sedikit pula yang mendapatkan hasil seperti warga Senuju, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Sejak tahun 2006, warga berkonflik dengan PT Wilmar Sambas Plantation, anak perusahaan Wilmar Group yang juga anggota RSPO. Menurut salah seorang warga Desa Sejangkung, Mardiana, hutan milik warga desa seluas 321,54 hektar tiba-tiba ”dibersihkan” oleh PT Wilmar Sambas Plantation tanpa seizin warga. ”Padahal, sudah tiga generasi kami tinggal di hutan ini dan telah menjadikannya sumber mata pencarian,” kata Mardiana.
Dibantu LSM lokal, seperti Gemawan dan Kontak Rakyat Borneo, juga LSM nasional, seperti Sawit Watch, warga Desa Sejangkung mengirimkan surat protes kepada RSPO dan International Finance Corporation (IFC), lembaga keuangan milik Bank Dunia. Wilmar Group merupakan salah satu anggota RSPO, sementara IFC menjadi kreditor bagi perusahaan di bawah Wilmar Group.
”Kami mengirim surat protes kepada IFC karena perusahaan yang mereka danai masuk kategori C, kategori perusahaan yang tidak akan berdampak buruk pada kehidupan sosial dan lingkungan,” ujar Laili Khairnur dari Gemawan.
Keluhan mereka ditanggapi IFC dengan menurunkan Compliance Advisor Ombudsman (CAO), lembaga independen yang menangani keluhan atas kredit yang disalurkan IFC. CAO kemudian memverifikasi keluhan yang disampaikan warga dengan datang langsung ke Sejangkung dan Dusun Sajingan Kecil, tempat Wilmar Sambas Plantation beroperasi.
Hingga kemudian warga melakukan pembicaraan dengan Wilmar Sambas Plantation yang difasilitasi oleh IFC. Pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, seperti Wilmar meminta maaf atas pembukaan lahan tanpa persetujuan warga, tanah yang sudah dibuka dikembalikan kepada masyarakat, hutan yang belum ditebang tidak boleh dibuka untuk jadi perkebunan, wilayah yang telah ditanami sawit akan diserahkan masyarakat dalam bentuk kebun plasma dengan Wilmar sebagai intinya.
Namun, hasil fenomenal dari perjuangan masyarakat di forum internasional adalah suspensi IFC atas kredit-kredit mereka kepada perusahaan perkebunan sawit. ”Mereka menganggap, ada mekanisme yang salah dalam penyaluran kredit untuk perkebunan kelapa sawit. Sejak September 2009, IFC melakukan suspensi atas semua kredit perkebunan kelapa sawit,” ujar Laili.
Menurut Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch, tindakan IFC melakukan suspensi terhadap debitor telah membuat banyak perusahaan perkebunan, terutama anggota RSPO, berpikir ulang untuk menangani persoalan konflik tanah dengan masyarakat. ”Saat ini mereka benar-benar khawatir,” ujarnya.
Untuk itulah, Sapuani, Sahridan, dan Suriansah bertekad menghukum perusahaan yang merampas tanah mereka dengan bicara langsung kepada kreditornya, HSBC. Jika intimidasi dan lantai penjara tak menyurutkan langkah mereka dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka, apalagi hanya bicara di forum internasional. ”Sampai mati pun siap aku menghadapinya,” ujar Sahridan. Sumber; Kompas Online Kompas, 5 Desember 2009
Last Updated ( Saturday, 05 December 2009 )
0 Response to "Sampai mati pun tetap ku hadapi"
Posting Komentar