SURUHLAH SUJUD MELADANG

14 Desember 2009 jam 15:14


Suruhlah sujud meladang
Mendalami tanah sambil beriak air sumur
Di dadanya
Tanah berisik bunga-bunga
Diterpa senja sambil menyulam matahari
Di matanya

Suruhlah sujud meladangi diri dengan
Sajadah malam
Air menetes dari mata melalui pandan,
Dan wajahmu yang setengah tenggelam di ufuk,
Menirukan suara burung, bersiul di sangkar Azali,
Menelurkan berjuta cahaya pada wajah semesta

Suruhlah sujud menggali malam dengan
Cangkul tahajud
Kening dibasahi embun, dinginkan gelagat siang
Yang tersisa
Sauh kaulempar jauh di laut doa
Sambil berdzikir kemarau panjang di ladang

Suruhlah sujud mengail bintang
Pada cermin air kolam yang redup
Kemalaman

Prenduan, Mei-September 1999

Bairus Saliem

"BAIRUS SALIEM - Lahir di Pamekasan, Madura, 10 Pebruari 1980. Santri pada
Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep ini pernah menjadi pemenang Lomba Cipta Puisi
Antar SMU Tingkat Nasional yang diselenggarakan Teater Jineng Tabanan, Bali,
tahun 1999. Kini menjadi redaktur pelaksana Majalah Bulanan Qalam dan Ketua
Sanggar Sastra Al-Amien".
(Lengkapnya ;sastra daerah dan etnik dalam NEGARA ETNIK Karya JJ KUSNI)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Surat dari Gunung Purei

Pendahuluan :
Tulisan ini sengaja ku masukan di Blogku..karena akan kagum nya akan pribadi dari Om Kusni ...yang waktu itu sering membawa kami diskusi di Rumah Bung Hendra Wijaya Iban,waktu beliau mengarahkan kepada kami tentang IkatanGenerasi Penerus Perjuangan Damai Tumbang Anoi dan beliau cerita ,kenapa beliau minta suaka ke negeri Perancis....dan yang lebih membanggakan bagi saya pribadi karena Om JJ Kusni adalah putra Dayak Katingan ...yang tidak pernah lupa akan kampung halaman dan bahasa nya.

Selamat berjuang Om....di awal tahun ini saya muat kan tulisan mama hung Blog ayung ku
"Omongan Kosong hari -hari Gua"

Kalau ingin lebih tau akan Om JJ Kusni ...Lihat di Negara Etnik di situ beliau memberikan pemikiran dan tujuan hidupnya bagi bangsa dan negara RI
JJ Kusni ,budayawan Dayak ngaju dari Katingan .yang sekarang berwarga negara Perancis dan sosok pemuda dan pemikir Dayak yang lolos dari Rezim Orde Baru.

ANALOGI

Untuk mudahnya kupungut saja pengertian "analogi" seperti yang terdapat dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan & Balai Pustaka [Cetakan pertama, Jakarta, 1988]. KBBI merumuskan "analog" sebagai "sama,serupa" [hlm.33]. Dan mengartinya "analogi" sebagai "persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan" [hlm. 33].

Dua hal berlainan di sini yang aku bicarakan adalah perihal "Dayak" dan "Cina" atau "Tionghoa" yang singgung oleh Lan Fang dalam tulisannya "Dari Lan Fang Di Negara Seni-Sastra-Budaya" [milis apresiasi-sastra, 28 Mei 2006]. Dalam artikelnya yang menarik ini, Lan Fang antara menulis:

"Alih-alih masalah tahu diri, aku jadi merasa konyol dan lucu sendiri ketika melihat intern orang Cina sendiri ribut mempermasalahkan istilah CINA dan TIONGHWA. Secara politis, mereka ngotot minta diakui eksistensinya tetapi berlindung di balik benteng ekslusif bernama TIONGHWA. Aku yakin bahwa istilah TIONGHWA hanya ada di republik Indonesia ini. Di semua negara di belahan dunia mana pun akan memakai kata CINA, termasuk di republik seni budaya sastra. Apakah memungkinkan membuat puisi dengan kata-kata... .....gadis itu seperti putri Tionghwa...bla..bla..--- pasti bikinnya ...gadis itu seperti putri Cina...bla...bla.... Pak Kusni di Paris, Pak Sigit di Swiss, atau siapa pun di luar negeri pasti akan menyapa orang Cina dengan Hallo, are you Chinesee? --- tidak mungkin hallo, are you Tionghwa?

Jauh sebelum debat yang sekarang, seperti dikatakan oleh Lan Fang, berlangsung di kalangan etnik Tionghoa atau Cina Indonesia [dan bisa diikuti antara lain melalui berbagai media elektronik], di kalangan orang Dayak pernah terjadi debat serupa yang hampir tanpa akhir dan tanpa penyelesaian.

Perdebatan berawal dari pandangan bahwa istilah Dayak yang berasal dari penamaan luar mengandung hinaan terhadap manusia Dayak. Orang Dayak sendiri, baik di Borneo atau pun Kalimantan pada waktu tertentu tidak menggunakan istilah Dayak untuk menyebut asal etnik mereka. Yang mereka gunakan misalnya adalah Oloh Katingan, Oloh Kahayan, Oot Danum, Oot Siang, Kayan, Iban, Manyaan, dan lain-lain... Kata Dayak digunakan oleh pihak asing atau luar, sejalan dengan agresi kebudayaan mendahului dan menyertai agresi militer oleh kaum kolonialis sehingga "Dajakers" diartikan sebagai lambang dari segala keburukan dan kejahatan. Masuknya agama Kristen dan Islam membuat keadaan menjadi lebih parah. Manusia Dayak dan kebudayaannya dipandang sebagai "budaya setan" dan "musyrik" sehingga sampai pada periode tertentu, tidak sedikit orang Dayak yang malu mengaku diri Dayak. Konsep ini ditopang oleh para antropolog asing, menggunakan dalih ilmiah [pesudo ilmiah?!] yang mengkategorikan
orang Dayak sebagai manusia dan komunitas primitif. Menghadapi keadaan begini maka manusia Dayak membela diri dengan berhimpun kokoh di sekitar budaya Kaharingan. Pandangan Dayak sebagai "Dajakers" sampai sekarang masih belum punah sepenuhnya. Memperlihatkan betapa kekuatan budaya dan ide yang ditanam sebagaimana kuatnya hetze anti komunis dan "jasa" Soeharto hingga sekarang di Indonesia yang dicekoki oleh Orba selama tiga dasawarsa lebih.

Debat di kalangan Dayak ini berakhir pada tahun 1991 ketika di Pontianak dilangsungkan Kongres Nasional Dayak yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Dayak Borneo-Kalimantan serta wakil dari etnik-etnik lain [lihat dokomuntasi Institut Dayakologi Pontianak]. Kongres memutuskan untuk menghentikan debat tidak perlu mengenai penamaan tersebut, dan sepakat menerima Dayak untuk menamakan etnik utama yang menghuni terutama bagian pedalaman pulau Borneo-Kalimantan. Kongres memandang bahwa yang terpenting bagaimana mengobah hinaan itu sebagai pemicu untuk bekerja menjadikan manusia Dayak sebagai manusia-manusia bermutu sebagaimana yang terkandung pada konsep hidup mati manusia Dayak "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]. Konsep ini kukira sampai sekarang masih tanggap zaman, mungkin juga pulai nilai universal.

Ketika bekerja di Kalimantan Tengah selama bertahun-tahun, konsep ini kemudian aku usulkan dalam kata-kata lain: "Berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi" [lihat: JJ. Kusni, "Negara Etnik. Beberapa Gagasan Pemberdayaan Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah", Fuspad, Yogyakarta, 2000]. Kata-kata kunci bagiku adalah "Dayak Bermutu" dan "Dayak Kekinian".

Yang terpenting dari keputusan-keputusan Kongres Dayak Pontianak 1991 jadinya berintikan : Robah yang negatif jadi positif! Dampak besar dari Kongres ini kemudian diperlihatkan oleh waktu. Kongres Dayak Pontianak 1991adalah awal dari suatu era pemberdayaan diri menyeluruh manusia Dayak tanpa menadah tangan pada belas kasihan, termasuk dari pemerintah yang menyebut diri Republik Indonesia tapi mengabaikan nilai-nilai yang terkandung pada dua kata tersebut.

Menggunakan pengalaman etnik Dayak menyelesaikan debat panjang mereka, aku jadi teringat pada permasalahan yang kau ajukan Xiao Lan yaitu debat di kalangan etnik Tionghoa atau Cina Indonesia mengenai soal nama etnik, dengan mana etnik aku pribadi sangat tersangkut dan terkait erat.

Titik-titik [points] pandanganku, di atas segalanya, bahwa etnik Cina atau Tionghoa Indonesia adalah salah satu etnik yang setara dan punya hak sama di negeri dan Republik ini. Etnik ini pun turut membangun Republik dan Indonesia. [Lihat antara lain: May Swan, "Pahlawan Sungailiat", in:"Matahari Di Tengah Malam", Doea_Lentera, Jakarta, Mei 2006, 207 hlm. Lihat juga karya-karya Denys Lombard dan Claudine Salmon tentang etnik Tionghoa Indonesia; Pramoedya A.Toer: Hoakiao di Indonesia, "Bumi Manusia"]. Karena itu penamaan "warga negara keturunan asing" [WNKA] dan pemberlakuan SBKRI adalah suatu tindak dan perlakuan illegal serta bertentangan dengan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Indonesia dan Republik bukanlah monopoli mayoritas. Dari sudut pandang ini, selayaknya warganegara Republik Indonesia dari etnik Tionghoa atau Cina tidak perlu punya kompleks psikhologis apa pun. Indonesia adalah tanahair dan negeri kelahiran mereka. Ketika berada di Republik Rakyat
Tiongkok, aku saksikan benar, betapa di negara ini , mereka yang terpaksa pergi [aku tidak gunakan istilah "pulang"] menjadi orang asing di sini. Masakan Tionghoa [Cina] Indonesia pun bukanlah masakan Tionghoa [Cina] RRT atau Taiwan. Masakan mereka adalah masakan Indonesia. Karena itu aku sangat paham kemarahan alm. Liem Koen Hian yang mati-matian turut memperjuangkan Republik Indonesia [Republik dan Indonesia] tapi kemudian tidak diperlakukan dengan adil hingga sampai akhir hayatnya ia menolak jadi warga negara RI, tapi juga tidak menjadi warga negara manapun. Semangat Koen Hian adalah semangat Sun Wu Kung, si raja kera putih, yang kukagumi, Xiao Lan. Semangat yang sanggup memberontaki dan mengobrak-abrik kerajaan sorga. Tanpa watak membudak dan membungkuk-bungkuk demi keadilan.

[Sebagai ilustrasi, dan sedikit menyimpang. Jika Sun Wu Kung adalah tokoh sastra, maka pertanyaanku: Seberapa jauh sudah kau sebagai penulis menuangkan mimpimu akan esok yang baik dan manusiawi dalam tokoh-tokoh novel dan cerpenmu?Terus-terang, aku tidak mempertentangkan sastra, dagang dan idealisme. Tinggal pandai-pandainya penulis bermain seperti ikan berenang di sela-selang batu dan karang. Dan kau, Xiao Lan, punya kemampuan serta kemungkinan ini. Sartre, Camus, Sagan, Duras, Sollers, dll.. di Perancis sangat laku].

Kembali ke masalah Cina dan Tionghoa. Dibandingkan dengan posisi etnik Dayak, kukira posisi etnik Cina [Tionghoa] jauh lebih baik. Tapi katakanlah seimbang buruknya dari segi politik. Tapi yang kukira yang terpenting sekarang bukan mempersoalkan soal nama etnik. Tapi menjadi anak manusia berangkat dari kedirian kita, akar budaya kita untuk menjadi anak manusia dunia yang bertanahair. Istilah Cina adalah hasil dari proses sejarah negeri kita yang berada di luar kemauan subyektif. Karena itu kukira yang terpenting sekarang barangkali patut keluar dari debat begini tapi mengobah yang negatif menjadi positif seperti walau pun sebutan Tionghoa di Indonesia patut dipahami mempunyai latar sejarah sendiri. Latar sejarah, politik dan linguistik yang kemudian dikalahkan atau ditenggelamkan oleh arus peristiwa sejarah negeri kita membuat debat Cina dan Tionghoa, barangkali menjadi tidak mendesak atau tidak menjadi pertanyaan penting lagi dibandingkan dengan menjadi
berkeindonesiaan. Ketika Indonesia menjadi kabur dan mengancam harapan, yang terpenting kemudian menjadi anak manusia yang manusiawi dengan berakar budaya yang membayangi kita tanpa bisa kita elakkan. Ini yang kukira tak terusik waktu. Menjadi manusia manusiawi pun bukan sesuatu yang gampang dan sederhana. Karena itu ada sphinx. Tionghoa atau Cina Indonesia adalah suatu identitas seperti halnya Dayak Indonesia. Malangnya juga banyak Dayak tidak lagi paham budaya Dayak. Keindonesiaan dan menjadi Indonesia pun tidak lebih dari suatu gumpalan kabut. Kadang aku berpikir bahwa Indonesia dan manusia Indonesia sekarang masuk kategori negeri dan manusia yang kehilangan diri. Suatu hipotesa! Tema dan pertanyaan ini, kukira juga menjadi pertanyaan menagih jawab selain dari para elite pemegang kekuasaan politik, juga dari penulis dan mereka yang merasa diri penulis, sastrawan, karena memang termasuk wilayah mereka. Salahkah?! Kalau salah, lalu apa arti menjadi penulis, pengarang dan
sastrawan di tengah masyarakat manusia, berbangsa dan bernegeri?!

Analogi dan perbandingan akan memperjelaskan pertanyaan ku.***

Paris, Mei 2006.
----------------------
JJ. Kusni

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

TIDAK ADA YANG SEMPURNA

14 Desember 2009
Kisah seorang istri dari pasangan muda yang baru hidup bersama 1 tahun. Suatu malam, ketika sang suami sudah tertidur lelap disampingnya, sang istri masih terjaga. Ditatapnya wajah suaminya, dan sang istri hanya bisa menggerutu dalam hati, melihat sosok si suami yang sebenarnya jauh dari idaman. Apalagi ketika sang suami mulai mendengkur cukup keras. Akhirnya dia menutup wajah dengan bantal dan mencoba tidur dengan segala kegalauan hati.

Namun belum lama terlelap dengan nyenyak, sang istri harus terbangun, karena kaki sang suami menyenggol kakinya. Memang seringkali sang suami banyak gerak tidurnya, dan ini yang kesekiankalinya terjadi kejadian yang sama. Sang istri pun kaget, dan tanpa sadar untuk pertama kalinya agak membentak pada sang suami. Sang suami pun terbangun dan langsung meminta maaf.

Dengan sabarnya membujuk Sang istri untuk tenang. Setelah beberapa saat, akhirnya sang istri mulai mereda emosinya, kemudian dia bertanya untuk sebuah pertanyaan yang akhir-akhir ini mengganjal dalam fikirnya, “MENGAPA KAU MENIKAHIKU, MAS?”

Sang suamipun menghela nafas, tersenyum dan menjawab, “Sebetulnya, memang kamu bukan wanita tipe idamanku, sayangku... tapi dari sekian waktu yang telah kita lewati bersama dulu, aku telah memilih untuk menjadikanmu pasangan hidup. Yang akan selalu kuperhatikan, kusayangi , dan kucintai untuk selamanya. Aku sadar, kalau aku selalu mencari sosok idaman, mungkin akan kudapatkan, tapi mungkin juga aku hanya akan selalu mencari dan mencarinya hingga Tuhan memanggilku, karena bisa jadi aku takkan pernah punya kesempatan bertemu dengan sosok idamanku itu atau malah dia akan menghindar untuk mencari idamannya juga. Jadi, kapan waktuku untuk membina keluarga?? Untuk menyayangi dan disayangi seseorang?”

Terhenyak sang istri mendengarnya, suatu penjelasan yang sederhana dan jauh dari egois. Sang istri tiba-tiba merasa sangat bersyukur telah “diberi kesempatan” untuk berkeluarga dan rasa cinta pada sang suami yang sempat ia pertanyakan sendiri, tiba-tiba tumbuh begitu dahsyat disertai sebuah kekaguman yang luar biasa. hingga air mata haru pun tak terasa menetes.

Mulai saat itu, tak pernah lagi sang istri mengingat-ingat sosok idamannya, sosok itu telah dia kubur dalam-dalam, dan dia mulai dapat menerima suaminya dengan segala kekurangan yang ada dan rasa syukur pun menjadi pengingat senyumnya di setiap waktu.

“Pasangan hidup kita adalah memang yang terbaik. Tak perlu menghabiskan waktu dan energi untuk selalu memikirkan kekurangannya yang ada, karena tidak akan pernah kau dapatkan pasangan yang SEMPURNA sesuai dengan keinginanmu. Bila ingin suatu cinta lebih indah, bahagia dan abadi, berikan hatimu, untuk mengisi yang kurang dan mengurangi yang berlebihan atas apa yang ada pada diri kalian berdua.."

Berikan juga waktumu untuk pasanganmu ...
Agar pasanganmu merasakan bahwa kamu selalu ada untuknya.

Good luck friends.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Menjadi Orang Bersemangat dan Optimis Menghadapi Masalah

20 Desember 2009

“Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa yang akan memulihkan semangat yang patah?” Amsal 18:14

Beragam persoalan bisa menimpa siapa saja. Entah orang kaya atau miskin, tua atau muda, setiap orang selama hidup di dunia ini selalu berhadapan dengan berbagai persoalan. Setiap orang, terlepas dari status sosial, pendidikan, profesinya, dan bahkan sebagai hamba Tuhanpun tidak terluput dari yang namanya pergumulan atau persoalan. Manusia harus berhadapan dengan masalah selama hidup di dunia ini. Setiap orang tentunya memiliki persoalan yang berbeda-beda.

Kita tidak boleh menyerah, walau badai apapun yang sedang menerpa. Sebab pencobaan yang kita alami tidak pernah melebihi kekuatan kita, seperti yang disebutkan dalam Firman Tuhan.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya” 1 Kor 10:13
*courtesy of PelitaHidup.com
Allah itu baik. Dia sahabat kita, dalam segala susah Dia selalu datang menghibur. Biasanya ada beberapa hambatan-hambatan dalam meraih sebuah keberhasilan adalah antara lain, sikap yang putus asa, patah semangat, menyerah, keinginan untuk mundur, dan lain sebagainya. Kalau sikap seperti ini dibiarkan akan membuat seseorang itu menjadi frustrasi, dan tetap tinggal dalam masalahnya. Dalam menghadapi setiap masalah, kita membutuhkan sebuah semangat untuk berjuang dan bangkit, dengan pertolongan Tuhan agar kita sampai pada tujuan yang diinginkan.

Dalam cerita di Alkitab kita dapat melihat sebuah kondisi yang mengisahkan seseorang yang tidak lagi bersemangat dalam hidupnya, yaitu kisah nabi Elia. Keberhasilan Elia membunuh 450 orang nabi baal seorang diri membuat Izebel marah dan bermaksud membunuhnya. Mendengar berita itu, larilah Elia untuk menyelamatkan diri, ia dalam ketakutan, putus asa dan patah semangat. Ia lari ke gunung Horeb untuk bersembunyi.

.

Ada beberapa kondisi yang dialami nabi Elia ini, yaitu:

Menjadi Orang Bersemangat dan Optimis Menghadapi Masalaha). Ia kelelahan, lelah jasmani setelah perjalanan panjang, empat puluh hari, empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yaitu gunung horeb.
*courtesy of PelitaHidup.com
“Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku” 1 Raj 19:4b.

b). Ia merasa telah gagal membuat bangsa Israel untuk bertobat,
Ebook Kristen Artikel Kristen
c). Ia merasa kesepian, hanya seorang diri saja dalam pergumulan untuk kebenaran Allah.

“Jawabnya: “Aku bekerja segiat-giatNya bagi Tuhan, Allah semesta alam,karena orang Israel meninggalkan perjanjianMu, meruntuhkan mezbah-mezbahMu dan membunuh nabi-nabiMu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku” 1 Raj19:10

Allah tidak tinggal diam, Ia tetap memperhatikan Elia yang sedang patah semangat itu. Ia membiarkan Elia istirahat dan tertidur, kemudian Allah mengirim malaikatNya untuk memberi makan Elia. Allah juga datang untuk memberikan semangat kepadanya dan memperkuat imannya di gunung Horeb itu. Allah sesungguhnya tidak akan meninggalkan nabi ataupun umat-Nya yang setia.
*courtesy of PelitaHidup.com
“Firman Tuhan kepadanya:”, pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik, dan setelah engkau sampai, engkau harus mengurapi Elisa bin Safat, dari Abel Mehola, menjadi nabi menggantikan Engkau” 1 Raj 19:15-16

Ketika anak-anak Tuhan putus asa dimanapun mereka berada, melalui Yesus Kristus mereka dapat memohon kepada Allah, untuk menerima kekuatan dan semangat agar mampu menghadapi situasi.

Orang yang bersemangat adalah orang yang tidak mau menyerah, dan tidak mau terpengaruh oleh keadaan, sekalipun hal itu kurang baik. Tindakan/perbuatannya tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh keadaan. Mengapa demikian ? Karena, ia memiliki target dan tujuan yang ingin dicapainya. Orang yang bersemangat akan tetap optimis, mereka percaya karena bersama dengan Allah akan mampu untuk menghadapi setiap kesukaran.

“Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” Fil 4:13

Orang yang bersemangat memiliki iman, tetap percaya pada Firman Allah yang berkuasa. Jadilah orang yang bersemangat dalam hidup ini, apapun kondisi yang sedang terjadi, tetap miliki semangat. Semangat sangat diperlukan untuk memperoleh apa yang ingin kita capai. Karena dengan bersemangat kita akan tetap mengarahkan pandangan kita kepada tujuan, dan ada usaha untuk mencapainya.

.
Untuk menjadi orang yang bersemangat yang selalu optimis, kita memerlukan:
1. Keberanian bertindak untuk mengambil resiko

Menjadi Orang Bersemangat dan Optimis Menghadapi MasalahOrang yang bersemangat memiliki keberanian untuk bertindak. Siap hidup dan siap mati, mereka tidak takut dan gemetar karena mempunyai ketetapan hati yang mantap. Ingat, bagaimana kisah Sadrakh, Mesakh dan Abednego ? Ada sebuah perintah yang telah dibuat bahwa ketika mendengar bunyi sangkakala, seruling, kecapi atau alat musik lainnya maka haruslah setiap orang sujud menyembah patung yang telah didirikan oleh raja Nebukadnezar. Mereka tidak mau menyembah patung yang telah didirikan oleh raja Nebukadnezar tersebut.

Dalam Kitab Daniel 3:6 “Siapa yang tidak sujud menyembah, akan dicampakkan seketika itu juga ke dalam perapian yang menyala-nyala.”

Didapatilah bahwa mereka tidak mengindahkan titah itu, mereka tidak mau memuja dan menyembah patung tersebut. Adalah sebuah ancaman bagi mereka, dengan resiko mereka harus dimasukkan kedalam perapian. Mereka tidak khawatir, cemas dan takut, malah dengan berani untuk menerima hukuman itu. Mereka tetap mempertahankan iman yang mereka percayai.

Beginilah yang mereka ucapkan kepada raja itu, Daniel 3:17-18 ”Jika Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu ya raja. Tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memujja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”

Mereka berani berkata tidak dan merekapun berani bertindak menerima hukuman yang sudah ditetapkan itu. Dengan amarah raja itu memerintahkan supaya perapian dibuat tujuh kali lebih panas dari biasanya, dan ketika mereka dicampakkan kedalam api, mereka tidak terbakar, rambut di kepala mereka tidak hangus, bahkan bau kebakaranpun tidak ada.

“Lalu Nebukadnezar mendekati pintu perapian yang menyala-nyala itu ; berkatala ia: “Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, hamba-hamba Allah yang maha tinggi, keluarlah dan datanglah kemari!” Dan 3:26

Merekapun keluar dengan selamat dari perapian , Tuhan menyertai mereka. Dengan berani mereka mengatakan sekalipun Allah tidak menolong, mereka siap untuk mati bagi Tuhan. Tetapi Tuhan tidak tinggal diam, mereka diluputkan dari panas api itu, mereka tidak terbakar, tidak ada bau hangus, mereka tetap utuh seperti sediakala.

“Apabila engkau berjalan melalui api engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.” Yes 43:2b

Kalau kita berani bertindak lakukan sesuatu kebenaran, Tuhan pasti menolong, Tuhan juga pasti membela FirmanNya. Jadi, jangan takut, hadapilah setiap persoalan, jangan lari, Tuhan memberi kekuatan agar kita dapat meraih keberhasilan.

.
2. Sikap tidak mau menyerah

Tidak Mau MenyerahDalam Alkitab ada sebuah cerita tentang seorang perempuan yang sudah 12 tahun menderita pendarahan. Perempuan ini sudah diobati oleh berbagai-bagai tabib, namun keadaannya makin memburuk. Perempuan ini tidak putus asa, ia tetap memiliki semangat untuk sembuh. Tatkala ia mendengar berita tentang Yesus Sang Penyembuh itu, iapun berusaha untuk mencari Yesus, sebab ia yakin Yesuslah yang dapat menolong untuk menyembuhkannya.

Perempuan ini adalah orang yang bersemangat. Ketika Yesus dalam perjalanan menuju rumah kepala ibadat, ditengah kerumunan banyak orang, perempuan ini berusaha untuk menghampiri Yesus agar menerima kesembuhan dariNya. Perempuan ini tidak mau menyerah, dia tetap memiliki semangat, dia terus berjalan untuk menghampiri Yesus sekalipun ia sedang dalam penderitaan, mungkin ia berjalan tidak seperti orang normal karena penyakitnya itu, jalannya lambat tapi ia terus berusaha untuk maju mendekati Yesus dari arah belakang.

Perempuan ini mempunyai suatu tujuan untuk sembuh, ia memiliki iman, “Karena katanya dalam hatinya:”Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” (Mat 9:21). Setelah hal itu dilakukannya iapun menjadi sembuh. Jerih payahnya tidak sia-sia. Ia berhasil, ia sembuh. Setiap orang yang mau mendekatkan diri kepada Yesus tidak akan menyerah, tetap berjuang sampai memperoleh apa yang ingin dicapai.

“Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu” 2 Taw 15:7

“Dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sunggguh-sungguh mencari Dia” Ibr 11:6b

Kalau semangatmu sedang lemah, bangkitlah mencari Tuhan, dengan berdoa, membaca Firman Allah, mengikuti ibadah dan memuji menyembah Dia. Pasti ada kekuatan baru dan upah yang akan diberikanNya, itu janjiNya.

.
3. Iman yang teguh

Menjadi Orang Bersemangat dan Optimis Menghadapi MasalahRasul Paulus setelah pertobatannya, memberikan hidupnya untuk melayani Tuhan, ia memenuhi panggilan Tuhan sebagi salah satu rasul yang ikut menderita bagi Kristus.

“Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.” 2 Kor 4:8

“Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian.” 2 Kor 11:27

Dalam mengiring Yesus, Paulus banyak sekali mengalami penderitaan dan aniaya. Paulus juga mengalami kesedihan, ia ditinggalkan oleh teman-temannya.

“Pada waktu pembelaanku yang pertama, tidak seorangpun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku, Tetapi Tuhan mendampingi aku dan menguatkan aku, supaya dengan perantaraanku Injil diberitakan, Dan Tuhan akan melepaskan aku, dari setiap usaha yang jahat, Dia akan menyelamatkan aku, sehingga aku masuk ke dalam kerajaanNya di Sorga. Bagilah kemuliaan selama-lamanya”. 2Tim 4:16-18

Di Roma pada saat itu sedang terjadi penganiayaan yang hebat, dan tidak ada seorangpun yang berani mengakui mengenal rasul Paulus. Paulus merasa kesepian dan kecewa, namun ia tetap merasakan kehadiran Tuhan, yang memberikan kekuatan padanya. Paulus mengakui bahwa ia mempunyai keyakinan yang kokoh, sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Paulus sanggup menghadapi dan mengatasi segala rintangan sebab ada Tuhan yang selalu memberi pertolongan dan kekuatan baginya. Karena iman yang teguh Rasul Paulus tetap berjuang, dan bahkan setia sampai mati bagi Tuhan.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang Adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” 2 Tim 4:7-8

Apapun keadaan yang kini tengah kita hadapi, kita tidak boleh hilang pengharapan, putus asa atau melepaskan iman saat menghadapi berbagai masalah. Hadapilah semua bersama Tuhan, kita akan dapat mengalami pengalaman-pengalaman yang baru bersama Tuhan. Setiap Firman Tuhan yang kita butuhkan terjadi atas kita, harus tetap kita percaya, sebab ada firman Tuhan tertulis:

“Aku tidak akan melanggar perjanjian-Ku, dan apa yang keluar dari bibir-Ku tidak akan Kuubah” Maz 89:35

Semua yang Tuhan janjikan itu melalui Firman-Nya, tidak akan ditarik kembali, dan Tuhan tidak mengingkari Janji-Nya itu. Arahkan pandangan, pikiran dan hati kepada FirmanNya, sebab itulah kebenaran yang akan memulihkan kita. Allah itu sangat baik.

“Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” Maz 34:19.

Kita harus percaya pada Firman-Nya. Supaya iman tetap teguh, baca, renungkan dan perkatakanlah Firman Tuhan itu kepada diri kita sendiri maupun kepada orang lain.

Semangat merupakan jalan untuk memperoleh apa yang kita butuhkan. Tetaplah bersemangat, miliki keberanian untuk melakukan Firman Allah, jangan pernah menyerah dan tetap teguh pegang janji Tuhan sampai menjadi sebuah kenyataan. Tuhan memulihkan setiap semangat yang patah. Orang yang bersemangat akan selalu optimis dalam menghadapi setiap persoalan, untuk meraih keberhasilan. Selamat berjuang dan tetap semangat, Tuhan Yesus memberkati kita semuanya.

.
“Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat” Wahyu 1:3.

sumber : www.pelitahidup.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Suara Terpinggirkan Dari Negeri Jiran

Senin, 28 Desember 2009
Orang Asli

Suara Terpinggirkan Dari Negeri Jiran


oleh:


Agung Wardana



“Kami ingin mewariskan hutan, tanah dan sungai yang sama kepada anak cucu kami, untuk itulah kami berjuang mati-matian mempertahankannya dari kerakusan orang kota” - Tijah



Sore itu begitu cerah dengan angin yang berhembus membawa kehangatan dalam hati. Setelah 3 jam dalam perjalan dari Kuala Lumpur melewati hamparan perkebunan kelapa sawit akhirnya kami tiba di sebuah perkampungan Chang Lama, Negara Bagian Perak, Malaysia.


Orang-orang tua yang duduk di atas pelataran bangunan kayu berbentuk panggung, menyambut kami dengan ramah. Melewati pelataran tersebut nampak rumah-rumah panggung yang terbuat dari papan berjajar seragam mengelilingi tanah lapang yang cukup luas. Di salah satu sisi tanah lapang terdapat panggung kecil yang kemudian kami ketahui sebagai tempat mengadakan upacara adat setiap bulan Oktober.


Beberapa perempuan paruh baya menggunakan kebaya menghampiri kami dan saling memperkenalkan diri satu sama lain. Kemudian mempersilahkan kami menuju sebuah rumah yang nampak berbeda dengan rumah panggung dari papan yang seragam di pinggir lapangan. Tidak ada pagar yang membatasi satu pekarangan rumah dengan pekarangan rumah lainnya.


Kami pun memasuki sebuah rumah panggung yang terbuat dari ranting-ranting yang tersusun rapi dengan ayaman bambu sebagai lantainya. Jelas terlihat bahan-bahan tersebut diambil dari hutan disekitarnya. Namun saat ini kegiatan untuk mengambil hasil hutan dianggap sebuah kejahatan oleh Jawatan Hutan (Departemen Kehutanan), maka jeruji besi siap menunggu mereka.


Orang Asli Bangkit Melawan

Orang Asli adalah suku bangsa tertua yang menempati Peninsula Malaysia. Sama seperti suku bangsa asli lainnya, kehidupan mereka sangat tergantung pada alam sebagai sumber kehidupan dan kelangsungan peradaban. Menempati kawasan dengan luas kurang lebih 3.000 hektar, Orang Asli di dua desa yakni Kampung Chang Lama dan Chang Baru menjalani hidup penuh dengan perjuangan melawan kerakusan modal.


Kampung Chang Lama berdiri pada 1969 setelah Kerajaan (Pemerintah Malaysia) membangun rumah-rumah panggung dari papan dalam rangka mendomestifikasi Orang Asli. Tidak hanya itu, tepat ditengah perkampungan juga dibangun sebuah pos Jawatan Hutan bak pemantau, jika tidak mau disebut mengintimidasi, segala denyut kehidupan masyarakat.


Saat itu pula Orang Asli mulai diperkenalkan dengan kepemilikan pribadi, sekolah dan agama sebagai upaya 'meng-adab-kan' mereka yang selama ini tinggal di sekitar hutan. Hal inilah yang kemudian hari melahirkan perpecahan diantara mereka sedangkan di sisi lain pengambilalihan tanah ulayat oleh kerajaan terus menerus terjadi.


Keprihatinan akan kondisi perpecahan sampai tahun 1993, mendorong seorang perempuan muda bernama Tijah mulai berpikir untuk merubah keadaan. Sebagai seorang perempuan muda, Tijah menyadari bahwa posisi nya sangat lemah dalam komunitasnya. Oleh karena itu dia mulai proyek perubahannya dengan mendirikan taman kanak-kanak.


Setiap hari dia mengajar anak-anak untuk di kampung bernyanyi lagu buatannya sendiri yang berisi pesan harapan baru bagi Orang Asli jika saja mereka mau bersatu. Anak-anak pun menyanyikan lagu-lagu itu di rumah masing-masing sehingga terdengar oleh orang tua. Lambat laun, para ibu pun merasa tergerak hatinya mendengarkan nyanyian anak mereka. Tijah menggunakan kesempatan ini untuk bisa mengumpulkan para ibu tersebut untuk diajak membentuk sebuah organisasi.


Lambat laun, pada 1995 organisasi pun terbentuk dan mulai menjadi usaha ibu-ibu untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dengan jalan beternak, pertanian organik. Tijah menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga hanya merupakan pintu masuk untuk menuju misi utamanya yakni untuk membangun kekuatan berkomunitas. Karena memang saat itu Orang Asli sedang manghadapi konflik dengan pemerintah yang ingin membangun Kebun Raya dan Binatang diatas tanah ulayat mereka.


Namun perjuangan yang dilakukan oleh kaum laki-laki mengalami kemandekan karena pemerintah melakukan intervensi dalam penentuan Totok Batin (tetua adat). Ibu-ibu yang telah mengorganisir diri menggantikan peran kaum laki-laki dengan mengambil posisi berada di garis depan perjuangan.


“Dulu ibu-ibu tidak berani melawan orang pemerintah tapi sekarang kami tidak takut lagi. Meski mereka punya senjata, tapi kami tidak takut karena kami punya suara,” ungkap Tijah dan diiyakan oleh ibu-ibu yang mendampinginya.


Aksi-aksi konfrontatif seperti blokade sampai aksi diplomasi dilakukan oleh ibu-ibu, akhirnya mampu mendapat simpati dari kaum laki-laki dan mulai bergabung bersama dalam organisasi. Meski berkali-kali ditekan dan diancam untuk diperjarakan, Tijah bersama organisasinya tetap melanjutkan perjuangannya mempertahankan hak.


“Bila banjir Orang Asli yang dipersalahkan oleh pemerintah karena dianggap menebang pohon. Tapi sebenarnya yang menebang pohon-pohon besar adalah perusahaan. Kami hanya menjadi kambing hitam karena dianggap tidak punya hak di Malaysia ini,” ungkap Nipah, perempuan tua yang selama ini setia mendampingi Tijah dengan penuh semangat.


Adanya persamaan perasaan akan sebuah penindasan, Tijah mulai meluaskan pengorganisasiaannya hingga membentuk organisasi Orang Asli di Negara Bagian Perak. Setiap Oktober organisasi ini akan berkumpul di Kampung Chang Lama untuk mengadakan pertemuan dan ritual adat penghormatan kepada alam semesta.


Perjuangan Tak Kenal Usai

Meski sudah bisa bernafas lega karena rencana Kebun Raya dan Binatang ditunda oleh pemerintah, bukanlah berarti perjuangan telah usai. Upaya untuk memecah belah Orang Asli terus saja dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai bentuk.


Yang paling muktahir, pemerintah memberikan bantuan rumah permenen kepada keluarga Orang Asli dengan syarat bahwa mereka harus mengajukan proposal kepada pemerintah melalui Totok Batin. Dari ratusan keluarga yang mengajukan proposal, hanya 6 rumah yang dibangun dan tersebar di sudut-sudut perkampungan.


Karil mengaku telah mengajukan proposal hingga puluhan kali namun tetap saja rumah yang diidamkannya belum juga dibangun. Bapak yang bekerja serabutan ini harus tinggal di rumah panggung kecil bersama isteri dan 4 orang anaknya. Terkadang dia merasa iri dengan keluarga yang telah mendapatkan bantuan rumah dari pemerintah dan tidak tahu mengapa dia dan ratusan keluarga lainnya tidak mendapatkannya.


Selain melalui pemberian rumah, kooptasi lain yang dilakukan adalah dengan jalan memberikan pekerjaan dan beasiswa kepada kelompok elit Orang Asli yang loyal terhadap pemerintah. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi konflik terbuka diantara Orang Asli di masa mendatang. Meski demikian, Tijah bersama para ibu-ibu tidak kenal lelah untuk tetap mengingatkan mengenai pentingnya persatuan diantara mereka.


“Kami berharap anak cucu kami belajar sungguh-sungguh untuk bisa melanjutkan perjuangan ini. Kami ingin mewariskan hutan tanah dan sungai yang sama kepada anak cucu kami, untuk itulah mengapa kami berjuang mati-matian mempertahankannya dari kerakusan orang kota,” harapan Tijah mewakili suara Orang Asli di Negeri Jiran yang selama ini terpinggirkan.


Penulis, Aktivis Lingkungan
Diposkan oleh BUMI Orang Asli

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tentang Pria yang benar atau tidak dari kaca mata Wanita

Catatan ini di kirim Oleh Erlina Dini

Pria itu memang susah... :(Jika kamu memperlakukannya dengan baik, dia pikir kamu jatuh cinta padanya. Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu sedang mencoba untuk menggodanya. Jika tidak, dia bilang kamu kampungan.Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu keras kepala. Jika kamu tetap diam, dia bilang kamu nggak punya otak.Jika kamu lebih pintar dari pada dia, dia akan kehilangan muka. Jika dia yang lebih pintar, dia bilang dia paling hebat.Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba mendapatkanmu. Jika kamu mencintainya, dia akan mencoba untuk meninggalkanmu.Jika kamu beritahu dia masalah mu, dia bilang kamu menyusahkan. Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai mereka.Jika kamu cerewet pada dia, kamu dibilang seperti seorang pengasuh baginya. Tapi jika dia yang cerewet ke kamu, itu karena dia perhatian.Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa dipercaya. Jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya karena terpaksa.Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar! Tapi kalo dia yang merokok, dia adalah seorang gentleman, wuiihh..!Jika kamu menyakitinya, kamu dibilang perempuan kejam. Tapi jika dia yang menyakitimu, itu karena kamu terlalu sensitif dan terlalu sulit untuk dibuat bahagia !!!!!Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok, mereka pasti bersumpah kalau ini tidak benar. Tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka, mereka akan bilang kamu egois.Jadi..... kirimkan ini pada semua teman lelakimu di luar sana, dan juga pada semua teman cewekmu untuk berbagi tawa bersama.. ;)Well... it's true...

Coment....

Dear all ))))
ah yang jelas nya tergantung dari sipat individu itu sendiri,
Dalam uraian yang begitu detail tersebut diatas kita bisa menarik 2 kalimat sebagai pembenaran :
1.Yang Mencintai
2.Yang di cintai ... Lihat Selengkapnya
kedua kalimat tsb semuanya dari satu kata "CINTA"
dan maaf bukan nya saya mengulas juga karena topik nya khusus buat kaum adam ,ga salah nya juga kita beri gambaran kepada kaum hawa sebagai topik pembanding ..hehehehe ;
1.wanita kodratnya di pilih untuk di miliki
2.pria kodratnya untuk memilih dalam arti yang luas termasuk pasangan hidupnya

dan satu hal juga kaum adam jangan asal memilih karena wanita itu punya 3 tife yang tidak bisa kita pungkiri dalam kehidupan nyata :
1. wanita tipe praktis
2. wanita tipe romantis
3. wanita tipe matrealistis

dari ketiga tipe ini ,tipe mana yang masuk dalam kategori pasangan anda................jawablah dengan jujur,tanyakan lah pada pasangan mu sebelum anda akan di kecewakan oleh

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Los Felidas

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorang pun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu,mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada dikantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.

Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh. Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.”

Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. “Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut
kita”.

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota. Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa.

Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figure gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo. Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.

Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi.

Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang.

Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan - pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?” Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna.

Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”. Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.” Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil , kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.

Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”. Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”. Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan”.

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing - puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong - kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak. Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu. “Belum bergerak dari tadi.” Lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.”

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat. “Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda. “Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.

Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya. “Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…” Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..” Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Perlawanan Kaum Cicak dalam Peringatan hari Korupsi 9 Desember 2009

Sajak Perlawanan Kaum Cicak


karya Tulus Wijanarko

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pintu

Senin, 07 Desember 2009

Mereka saling tak kenal, tapi masing-masing mereka berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang perempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di perkebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengambil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore kota itu.

Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika mereka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dicegat penjaga.

”Mau ke mana?” tanya juru pintu.

”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama, dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan.

”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.

Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya sedang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia diceritakan untuk kita.

Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Kalau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja. Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada pintu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada penjaganya, yang makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu ketiga saja, si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri tak berani melihat.”

Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alasan: ”Supaya nyonya tak merasa ada yang ketinggalan,” tapi perempuan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia hafal bagaimana gerak tangan penjaga itu menabok nyamuk, membersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari naik ke topi itu.

Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.

Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya bersinar dari bagian dalam gerbang. Hanya sebentar. Ketika dengan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap bunyi napas itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si nenek yang tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengarnya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan, kenapa selama bertahun-tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?”

Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya dari kutu No. 72, dan menjawab: ”Orang lain tak ada yang kemari, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.”

Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh beberapa puluh tahun yang lalu itu. Dan pintu itu ditutup.

Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat untuk membuat Hukum, yang ditulis dengan huruf ”H”, merupakan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang—semacam firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata yang tak boleh disentuh?

Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia bahwa Hukum sebenarnya tak pernah ada?

Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya menunggu. Menunggu. Entah sabar atau gentar, entah tawakal atau putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa dirinya tak layak, hingga tanpa digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri. Tapi mungkin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi antara bebas dan tak bebas—terutama menunggu Hukum, yang ditulis dengan ”H”.

Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyangka Hukum adalah Keadilan. Sangkaannya berlangsung sampai akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya yang sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu ada Keadilan itu sendiri.

Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.

Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia—seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau kayu atau logam itu….

Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini, meskipun ia meraga—dari kata ”raga”—di dunia.

Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan bahwa Hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki.

Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indonesia, melainkan dari sebuah negeri tempat hukum dibuat oleh Negara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada Republik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang utuh. Tapi bagi kita di Indonesia, apa yang bisa dikatakan tentang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu yang jangan-jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak jelas? Menjaga ”Hukum”, yaitu ketidakpastian?

Goenawan Mohamad

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Nomor:
161/PI/KP-PRP/ e/XII/09
(Disampaikan
Pada Hari Hak Asasi Manusia dan Kongres Hari Ibu)

Tetap
Oposisi: Lawan Reformasi Neoliberal1!

Jakarta, 10 Desember 2009

Pipa-pipa
menancap di tubuh pertiwi kita

Asap-asap
dari pabrik-pabrik

Mengotori
pertiwi kita, Pak!

Limbah-limbah
membuat sungai-sungai

dan
kali-kali tercemar.... ........

Kami
terpaksa tutup hidung, Pak!

Pertiwi
kita menangis

Pertiwi
kita butuh kamu, Pak!

(Fitri
Nganti Wani, putri Wiji Thukul, “Pulanglah,
Pak!”)

Kawan-kawan
seperjuangan,
Hari
ini kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember, hari
kemarin kita memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia 9 Desember, dua
minggu yang akan datang kita memperingati Hari Kongres Ibu 22
Desember, dan dua minggu yang lalu pula kita telah memperingati Hari
Internasional Kekerasan terhadap Perempuan 24 Nopember. Hari-hari
yang kami sebutkan itu berbeda dalam perspektif waktu dan ruang,
namun mempunyai pertautan pada ujung yang sama di Indonesia, yakni
kebrutalan mafia kekuasaan
yang dipimpin oleh seorang patron ekonomi-politik untuk merepresi
gerakan oposisi. Soeharto adalah patron ekonomi-politik yang berhasil
menyusun mafia kekuasaan Orde Baru, yang melakukan pelanggaran HAM
sejak Tragedi 1965 sampai dengan penembakan mahasiswa tahun 1999,
melakukan korupsi secara sistemik, membiarkan brutalitas militer
merajalela terhadap perempuan dalam situasi konflik di Papua, Aceh,
Jawa, Timor Leste, dan mengukuhkan ideologi koncowingking
(peran
domestik) untuk depolitisasi perempuan Indonesia.
Presiden
SBY maupun presiden
sebelumnya ternyata tidak ada yang secara tuntas menyelesaikan
pelanggaran HAM di masa Soeharto. Sekali pun membentuk KPK untuk
memberantas korupsi dan membuka akses perempuan ke ranah politik,
namun pada dasarnya membiarkan berbagai macam pelanggaran HAM di masa
Orde Baru, korupsi, dan kekerasan terhadap perempuan hanya tersentuh
secara tebang pilih lalu kasusnya mengambang tanpa kabar.

Kawan-kawan
seperjuangan,
Mafia
kekuasaan orde SBY yang akan berkuasa hingga 2014 jelas tanpa agenda
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia (gross
violation of human rights)
di masa lalu. Mari kita buka apa yang dibahas di dalam National
Summit yang
diselenggarakan 29-30 Oktober 2009 di Hotel Bidakara, Jakarta
Selatan, tak lama setelah rezim SBY dilantik sebagai presiden RI.
Ternyata National Summit
hanyalah pertemuan untuk
menyusun perencanaan strategis (renstra) program rezim ini dalam
perspektif pemulihan krisis neoliberal. National
Summit bukanlah istilah
yang dipahami rakyat pekerja secara umum dan karena ia memistifikasi
arti sejatinya. Padahal arti sejati National
Summit adalah koordinasi
antara aparatus rezim SBY dengan dewan pengusaha, yang terhimpun
dalam Kamar Dagang Indonesia (Kadin), untuk menjabarkan agenda
neoliberal selama lima tahun mendatang. Simaklah, apa artinya 80%
panitia National Summit
dipegang oleh anggota Kadin di bawah koordinasi Menko Ekonomi?
Tidak lain bahwa perencanaan program strategis Indonesia dalam 100
hari ataupun lima tahun mendatang ditujukan kepada kaum pengusaha.
Tak ada program untuk penyelesaian pelanggaran berat hak asasi
manusia di masa lalu. Tak ada pula program kesejahteraan untuk kelas
pekerja.
Bila
kita blejeti renstra tersebut sesungguhnya membangun tiga sendi
program neoliberal, yakni pembangunan infrastruktur,
revitalisasi pengusaha mikro-kecil- menengah dan pasar
tradisional, serta
neo-institusionalis asi2,
yang seluruhnya akan berupa program deregulasi atau neo-regulasi
serta debirokratisasi atau neo-birokratisasi.

Untuk
rentang 100 hari pemerintahan rezim SBY, mereka menjanjikan revisi
regulasi ataupun pembuatan regulasi baru dan pemangkasan birokrasi
ataupun penciptaan biro/lembaga baru, yang direncanakan akan mencakup
15 area perhatian, yang meliputi (1) pemberantasan mafia hukum; (2)
revitalisasi industri pertahanan; (3) penanggulangan terorisme; (4)
mengatasi permasalahan listrik; (5) meningkatkan produksi dan
ketahanan pangan; (6) revitalisasi pabrik pupuk dan gula; (7)
membenahi kompleksitas penggunaan tanah dan tata ruang; (8)
meningkatkan infrastruktur; (9) meningkatkan kredit pinjaman usaha
mikro, kecil, dan menengah; (10) perubahahan iklim dan lingkungan;
(11) usaha pendanaan; (12) reformasi kesehatan dengan mengubah
paradigma masyarakat; (13) reformasi di bidang pendidikan; (14)
kesiap-siagaan penanggulangan bencana; dan (15) koordinasi pemerintah
pusat dan daerah.

Bayangkanlah,
betapa dalam tempo 100 hari ini DPR akan sibuk menerima rancangan
regulasi baru atau pun revisi; serupa juga dengan eksekutif yang akan
dipadati kehebohan untuk membentuk lembaga-lembaga baru atau
merevisi/menghilang kan lembaga yang sudah ada. Terang sudah,
pekerjaan rezim SBY sebagai jongos rezim neoliberal berkutat
dalam urusan mekanisme dan prosedur pembuatan regulasi baru atau
merevisi regulasi yang dianggap kurang menguntungkan agenda
neoliberal, penciptaan lembaga baru untuk menjalankan regulasi dan
menseleksi siapa regulatornya atau pejabat yang menjalankan regulasi
tersebut.

Itulah
memang maksud rezim neoliberal, menjadikan negara sebagai tukang
pencetak regulasi dan birokrasi untuk menjamin investasi pada
industri strategis sekaligus pasar bebas.

Kawan-kawan
seperjuangan,
Bagaimana
renstra ala National
Summit itu dibaca dari
perspektif rakyat pekerja?

Pertama,
rakyat pekerja tidak boleh terkecoh. National
Summit sebenarnya adalah
penjabaran politik pembangunan jangka menengah dan jangka
panjang rezim neoliberal,
terhitung sejak krisis ekonomi global 1997 untuk merestruktur
Indonesia sebagai lahan reproduksi kapital.
Kedua,
bagi pemerintahan rezim SBY, National
Summit adalah usaha
untuk mekanisme koordinasi menjalankan agenda neoliberal
selama lima tahun ke depan, di
mana Kadin menerupakan pintu utama masuknya investasi ke Indonesia.
Program itu sendiri sudah ada dan berjalan, sehingga yang dibahas
hanyalah mekanisme koordinasi antara pemerintah dengan pengusaha
belaka.
Ketiga,
sebagai pemenang Pemilu 2009, rezim SBY tampil sebagai patron
ekonomi-politik di dalam oligarki partai politik borjuasi saat ini.
Dari sini lah mereka menciptakan konsensus ekonomi-politik untuk
mengkonsolidasi gesekan persaingan dan pertentangan di dalam oligarki
tersebut. Politik pembangunan yang telah dikoordinasikan dalam
National Summit
merupakan medan peraupan keuntungan ekonomi politik untuk
kesejahteraan partai politik borjuasi.

Keempat,
rezim neoliberal bukan tidak tahu mengenai kehendak meraup keuntungan
ekonomi politik oleh partai politik borjuasi. Maka rezim neoliberal
menggunakan patronase rezim SBY untuk mengendalikan persaingan dan
pertentangan di antara mereka melalui tata pemerintahan yang baik
(good governance)
yang menekankan pada mekanisme dan prosedur.
Neoliberal juga menuntut dibentuknya lembaga penjamin
keuangan untuk pengamanan
investasi dan pasar bebas.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Mari
kita periksa bagaimana konsekuensi bagi rakyat pekerja ketika tiga
sendi politik pembangunan —pembangunan infrastruktur, revitalisasi
pengusaha mikro-kecil- menengah dan pasar tradisional, serta
neo-institusionalis asi— dijalankan.

Pertama,
tentang politik pembangunan infrastruktur untuk pembuatan jalan tol
di Pulau Jawa dan Trans di Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, dan Papua,
mengancam kepentingan hidup rakyat pekerja. Kendati pembangunan
jalan, terlebih di daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua,
acapkali dianggap berguna oleh rakyat pekerja, tetapi harap
diwaspadai bahwa pembangunan jalan tersebut hanyalah melingkari pusat
industri yang memudahkan jalur transportasi dari dan ke pelabuhan.
Pembangunan jalan ini bukan untuk kepentingan rakyat pekerja,
melainkan kami tegaskan, adalah untuk kepentingan industrialisasi
pertambangan, perkebunan, dan manufaktur.

Menurut
road map
Kadin, contohnya pembangunan jalan tol di Pulau Jawa, telah
direncanakan sepanjang 1.700 km, yang membutuhkan tanah seluas 6.734
Ha, namun sejak 1978-2009 hanya dapat terbangun sepanjang 690 km (639
Ha). Faktor penghambat pembangunan jalan tol ini dikambinghitamkan
pada mekanisme pengadaan tanah karena rumitnya melaksanakan
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang Ada di Atasnya. Dalam UU tersebut dinyatakan,
penetapan ganti rugi berdasarkan musyawarah antara rakyat pemilik
tanah dengan pihak pengusaha atas nama pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah dipandang tidak tegas dalam mengendalikan harga tanah dan
resiko waktu untuk negosiasi harga dengan rakyat petani. Karena itu
para pengusaha pembangunan insfrastruktur menuntut pemerintah untuk:
(1) menerbitkan PERPU tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum
dan melakukan perubahan terhadap UU No. 20 tahun 1961 tersebut,
dengan menyatakan: “Untuk kepentingan umum dan demi hukum hak tanah
dapat dicabut secara otomatis”, di mana Badan Pertanahan Nasional
(BPN) akan bertindak sebagai penanggung jawab pembebasan tanah yang
dapat menggunakan jasa pihak ketiga; (2) pemerintah harus memberi
dukungan agar investasi infrastruktur yang tidak layak menjadi layak
dan dimungkinkan adanya insentif fiskal dari pemerintah dengan syarat
tertentu.
Selain
revisi regulasi tentang tanah, untuk industri pertambangan,
pertanian, perikanan, dan perkebunan, juga dilakukan revisi UU
Kelautan yang mensahkan privatisasi laut untuk industrialisasi
perikanan. Laut serupa tanah yang dikapling oleh pemilik modal untuk
eksplorasi perikanan di perairan Indonesia yang kaya. Sudah barang
tentu, nelayan miskin tanpa perahu tak bisa melaut karena setiap mil
telah menjadi milik pengusaha. Mereka telah hidup dalam masa paceklik
yang tak berkesudahan.
Kedua,
mari kita periksa keadaan buruh-buruh pabrik di Tangerang, Jakarta,
Bandung, Indramayu-Cirebon, Semarang, Surabaya, Samarinda,
Makassar/Maros, dan Medan, yang mengalami PHK (tanpa pesangon) atas
dalih perusahaan mengalami pailit. Contohnya, terjadi PHK terhadap
700 orang buruh perempuan PT
Uni Enlarge Industry Indonesia di
Semarang atas nama palilit —yang dinyatakan oleh Pengadilan Niaga,
Jakarta Pusat. Anehnya, pihak kreditor (China Trust) mengajukan
jadwal pelelangan, yang hal itu seharusnya dilakukan oleh kurator.
Buruh-buruh perempuan dari Semarang ini kemudian meninggalkan
keluarga, pergi ke Jakarta untuk membatalkan proses lelang. Dalih
pailit juga diajukan oleh pemilik PT
Istana Magnoliatama,
Kapuk, Jakarta Utara, yang memproduksi garmen dengan tenaga buruh
perempuan sekitar 400-an orang. Dua tahun lalu para perempuan ini
menduduki pabrik, menjaga, dan mencoba mendayagunakan aset untuk
produksi. Selain dalih pailit, PHK dilakukan dengan cara merumahkan
buruh tetap atau mengubah status mereka menjadi outsourcing.
Kehidupan buruh pun mengalami paceklik berat. Inilah kawan-kawan,
sebuah era yang disebut dekapitalisasi manufaktur sebagai
salah satu petunjuk adanya krisis di dalam kapitalisme.
Anehnya,
upaya meningkatkan kesejahteraan buruh tidak menjadi perhatian dalam
renstra National Summit,
kecuali hanya disebutkan adanya pengaturan UMR sektoral. Padahal ada
yang harus diwaspadai, yakni tentang penataan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) yang berhubungan dengan pembukaan industri baru dan
infrastruktur. Dalam perburuhan akan terjadi fleksibilitas yang
sangat masif. Hubungan kerja menjadi informal dalam pola outsourcing.
Buruh tidak tahu siapa bosnya. Keadaan ini tentulah semakin
menjauhkan harapan adanya kesejahteraan buruh. Perlindungan hukum,
jaminan sosial kesehatan-pendidika n untuk anak buruh tidak ada. Saat
ini status buruh yang bekerja tidak formal semacam itu, menurut data
BPS, telah mencapai 70% Hal ini masih diperparah oleh uji kompetensi
pekerja, yakni diberlakukannya standardisasi kualitas buruh melalui
sertifikat. Ini artinya, makin sulit menjadi buruh dan ketika menjadi
buruh pun, tenaganya dapat dieksploitasi secara bebas serta tidak
bertanggung jawab.
Kalaulah
ada regulasi pemerintah terhadap perburuhan, ternyata hanyalah untuk
mencetak peraturan daerah penerapan KEK dan sistem ketenagakerjaan
yang meliputi upah, outsourcing,
dan bebas pemakelaran buruh. Kawasan industri yang buruhnya belum ada
kesadaran politik dan jauh dari pusat birokrasi sering direlokasi
dengan atau tanpa PHK untuk pembangunan insfrastruktur. Contohnya di
Sumedang, Subang, Cirebon, Jawa Tengah, dan daerah lainnya.
Ketiga,
saat ini meluasnya penggusuran masyarakat kampung kota demi penataan
kota secara kapitalis, di mana setiap jengkal tanah untuk komoditi,
telah merambah ke kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sekaligus
dengan adanya kebutuhan tanah untuk KEK dan pembangunan
infrastruktur, penggusuran pun terjadi secara massal di pedesaan.
Pembangunan kota kapitalis dimaksudkan sebagai sarana pertumbuhan
ekonomi berbasiskan belanja. Lalu demi kepentingan ini, rezim SBY
merevitalisasi usaha mikro-kecil- menengah dan pasar tradisional.

Keempat,
kita telah dan akan semakin menyaksikan rezim SBY mencetak
lembaga-lembaga baru sebagai penjamin dan pengawas proses
neoliberalisasi di Indoensia yang dewasa ini digenjot untuk pemulihan
krisis ekonomi global.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Menyimak
keadaan yang dialami rakyat pekerja dan renstra rezim SBY ke depan,
semakin terasalah perang penghancuran kehidupan rakyat pekerja
berkobar di mana-mana. Sampai akhir tahun ini, bahkan ketika korupsi
terbongkar untuk membangun mafia kekuasaan dan memenangkan patron
ekonomi-politik saat ini di Indonesia, para “Buaya” koruptor yang
menjarah hak rakyat ini masih dapat berdalih. Dengan dalih itu pula
para pelanggar berat hak asasi manusia di masa lalu hingga saat ini
dapat berkuasa tanpa tersentuh proses peradilan (impunitas).
Cara-cara untuk mewujudkan keadilan transisional dengan menyelesaikan
pelanggaran berat HAM yang dilakukan rezim Orde Baru, untuk
pembungkaman rakyat pekerja selalu dibekukan di tengah jalan.
Sedangkan pola korupsi di kalangan mafia kekuasaan telah hidup pula
secara endemik di kalangan rakyat pekerja akibat perputaran sumber
ekonomi hanya berada di lapisan kekuasaan. Maka mafia kekuasaan di
Indonesia telah membangun jaring-jaring sosial yang membuatnya aman,
selain karena dalih, juga karena menjadi jongos rezim neoliberal.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Setelah
melihat gambaran situasi nasional seperti itu, yakni gambaran
reformasi neoliberal sedang bekerja di Indonesia di bawah
kepemimpinan sebuah mafia penguasa, sangatlah dibutuhkan keberanian
sejati rakyat pekerja untuk melawan dengan mengajukan politik
pembangunan tandingan.

Rakyat
pekerja harus membangun kekuatan yang meluas, dari sektor tani,
buruh, nelayan, mahasiswa, perempuan, dan kaum urban yang hidup
melata di perkotaan, untuk menempatkan diri sebagai oposisi
terhadap reformasi neoliberal.
Gerakan rakyat antikorupsi yang disimbolkan sebagai cicak-cicak
melawan buaya, harus disertai struktur mobilisasi massa yang
menjadikan “Cicak
vs Buaya” sebagai simbol pertentangan atau kontradiksi kelas
tertindas (Cicak) dengan penindas (Buaya). Jelaskan pada massa rakyat
pekerja, bahwa “Cicak vs Buaya” bukanlah hanya simbolisasi pada
kasus “Bibit-Chandra vs Kepolisian-Kejaksaa n” atau pertentangan
antarelit politik semata, tapi juga simbol untuk kaum buruh, tani,
nelayan, urban miskin kota, dan lain-lain, sebagai “Cicak”, serta
“Buaya” bagi koruptor, pemilik modal, rezim SBY, rezim
neoliberal, dan penindas lainnya. Oposisi “Cicak”
adalah oposisi kelas terhadap “Buaya” dan
ini merupakan perjuangan panjang di semua lini yang dipimpin oleh
kaum “Cicak”.

Kawan-kawan
seperjuangan,

Maka
bukan hanya hari ini kita berbaris sebagai “Cicak” vs “Buaya”
di seluruh Indonesia. Di hari-hari besok pun kita akan tetap berbaris
sebagai oposisi. Waspadai usaha-usaha yang memecah belah kesejatian
perjuangan kaum “Cicak”, dengan berbagai kemungkinan pembelokan
ke arah perjuangan yang menghancurkan rakyat pekerja.

Jangan
lelah beroposisi menuju Sosialisme.

Sosialisme, Jalan Sejati
Pembebasan Rakyat Pekerja

Sosialisme, Solusi Bagi
Krisis Kapitalisme Global

Bersatu, Bangun Partai
Kelas Pekerja






Jakarta,
10 Desember 2009
Komite
Pusat
Perhimpunan
Rakyat Pekerja
(KP-PRP)




Ketua Nasional


Sekretaris
Jenderal




ttd.
(Anwar Ma'ruf)


ttd.
(Rendro Prayogo)






1Neoliberalisme
mengatur negara sebagai pasar bebas untuk investasi, untuk
menggunakan tenaga kerja, untuk menjual barang-barang (pasar
konsumen), dan untuk itu mengubah fungsi pemerintahan negara hanya
sebagai pembuat regulasi (peraturan-peratura n) yang mendukung
situasi pasar bebas. Dalam situasi krisis, rezim neoliberal
memerlukan reformasi kebijakan keuangan, penataan pasar bebas, dan
sebagainya melalui revisi regulasi atau pembuatan regulasi baru,
disertai pula pembangunan badan-badan negara sebagai penjamin dan
pegawas regulasi. Pekerjaan inilah yang akan dijalankan oleh
pemerintahan SBY.

2Kebijakan
pemerintah untuk membentuk badan-badan di luar departemen yang
difungsikan sebagai pelaksana regulasi di bidang keuangan, hukum,
politik, dan sebagainya. Badan ini bisa berstatus ad-hoc atau
berstatus sebagai komisi negara. Contohnya di bidang keuangan yang
berstatus ad-hoc, yakni ketika ada banyak bank-bank yang
bangkrut pada krisis 1997 dibentuklah BLBI. Contoh yang berstatus
komisi negara untuk memberasntas korupsi dibentuklah KPK.

filtered {margin:0.79in; }P {margin-bottom: 0.08in;}- ->___**** *___Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu Bangun Partai Kelas Pekerja!

Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KP PRP)
JL Kramat Sawah IV No. 26 RT04/RW 07, Paseban, Jakarta Pusat
Phone/Fax: (021) 391-7317
Email: komite.pusat@ prp-indonesia. org / prppusat@gmail. com / prppusat@yahoo. com
Website: www.prp-indonesia. org

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kamus Dayak

Dalam penaksiran dan pemahaman akan suatu bahasa atau kata kita perlu dengan sebuah barang yang kita bisa pakai sebagi pemandu yang mempunyai pengertian yang serupa atau mendekati kebenaran dri kata yang kita maksud tersebut.

Dalam mempelajari suatu kebudayaan dan latar belakang suatu peradapan ,kita mungkin harus belajar dengan komonitas tersebut ...dengan tujuan supaya kita tau dan mengerti dalam hal komonikasi bagi 2 orang atau lebih dalam menjalin satu ikatan ,persahabatan atau relasi kerja.
ALBERTRT AB.- PENYUSUN KAMUS DAYAK NGAJU - INDONESIA

Bahasa Dayak Ngaju adalah lingua franca atau bahasa penghubung yang sudah digunakan sebagian besar warga Dayak di Kalimantan Tengah dan sekitarnya sejak lama. Namun, hingga paruh pertama dekade 1990-an, untuk memperdalam bahasa itu kita sulit menemukan kamus yang menerjemahkan bahasa Dayak Ngaju ke dalam bahasa Indonesia.

Kondisi inilah yang mendorong Albert Aron Bingan dan Offeny Adrianus Ibrahim menyusun kamus bahasa Dayak Ngaju-bahasa Indonesia. Apalagi seorang kolega Albert, Teras Mihing (almarhum), adalah pengajar pada Universitas Palangkaraya dan pada 1975 pernah berkunjung ke Beijing, China.

Di salah satu museum di kota itu, Teras Mihing melihat ada kamus bahasa Dayak-bahasa Jerman yang disimpan dalam kotak kaca. Ini karena usia kamus tersebut sudah lebih dari seabad. Dajacksch-Deutsches Worterbuch, nama kamus tersebut. Kamus itu disusun AUG Hardeland, terbitan Frederik Muller: Druck Von CA Spin and Sons, Amsterdam, tahun 1859.

Hardeland, penyusun kamus bahasa Dayak-bahasa Jerman itu, adalah misionaris Belanda yang selama 20 tahun masuk keluar hutan di Kalimantan untuk mengumpulkan berbagai bahasa di wilayah ini. Hardeland juga yang menyimpulkan bahwa bahasa Dayak Ngaju adalah bahasa terbesar yang dipakai orang Dayak di Kalimantan.

Di mana ada kehendak, di situ pasti ada jalan. Albert bersyukur ketika jalan untuk menyusun kamus bahasa Dayak Ngaju-bahasa Indonesia terbuka baginya. Ini diawali dengan pergaulan Albert dengan kalangan pendeta Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terutama Pendeta M Saha.

Kalangan pendeta GKE iniacap berkorespondensi dengan seorang dokter umum berkebangsaan Belanda yang bernama AH Klokke. Dokter Klokke pernah bertugas di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Melalui korespondensi itulah Klokke dapat mengirimkan beberapa manuskrip, seperti jenis-jenis tanaman obat tradisional Dayak. Tahun 1995 Klokke juga mengirim fotokopi kamus bahasa Dayak-bahasa Jerman karya Hardeland.

"Fotokopi kamus Dayak-Jerman itulah yang kemudian saya jadikan bahan untuk menyusun kamus Dayak Ngaju-Indonesia," kata Albert di rumahnya, Jalan Bukit Hindu, Palangkaraya.

Tetapi, karena tak menguasai bahasa Jerman, Albert hanya mengambil kosakata Dayak yang tercetak di kamus tersebut. Dia kemudian mencari artinya dalam bahasa Indonesia. Sumber utama lainnya untuk menyusun kamus Dayak Ngaju-Indonesia juga diperoleh Albert dari sebuah Alkitab kuno.

Alkitab berbahasa Dayak Ngaju terbitan Belanda tahun 1858 itu diberikan kepada Albert oleh seorang pendeta GKE, Chrispinus Kiting. Bersumber dari Alkitab kuno itu Albert mengambil pokok-pokok bahasa, mengumpulkan kata-kata, menyusun, selanjutnya menerjemahkan kata-kata dalam bahasa Dayak Ngaju tersebut dalam bahasa Indonesia.

Offeny menambahkan, sumber kamus Dayak Ngaju-Indonesia juga diperoleh dari buku tata bahasa lawas bertajuk Ngadjoe Dajaksprache karangan KD Epple terbitan Zendingsdrukkerijk Bandjermasin (ZO Borneo) tahun 1933. "Selain itu, saat menyusun kamus Dayak Ngaju-Indonesia ini, kami juga mendapat masukan dari beberapa tokoh Dayak, seperti WA Gara dan TT Suan," kata Offeny di rumahnya, Jalan B Koetin, Palangkaraya.

Berdiskusi

Saat menerjemahkan bahasa Dayak Ngaju ke dalam bahasa Indonesia, Albert berdiskusi dengan Offeny. Bila suatu kata dalam bahasa Dayak Ngaju sulit diterjemahkan, Albert memberi gambaran mengenai kata dimaksud, kemudian mereka berdua mencari padanannya.

Misalnya, pada kosakata Dayak Ngaju dikenal kata mata dan mate. Kedua kata ini dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan satu kata saja, yakni mata. Namun, dalam bahasa Dayak Ngaju, mata dan mate memiliki perbedaan makna.

Ambil contoh satu kalimat dalam bahasa Dayak Ngaju. Mananjong kilau dia bamate artinya berjalan seperti tidak bermata atau tidak melihat. Kata mate di sini berkedudukan sebagai kata keterangan yang merujuk pada mata. Adapun bila ditulis: Mananjong kilau dia bamata, maka kata mata di sini merupakan kata benda. Sebab, kata bamata tersebut mengandung makna tidak punya mata atau buta.

Kamus yang disusun Albertdan sepupunya, Offeny, ini berisi sekitar 13.200 kosakata Dayak Ngaju. Mereka menyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua tahun. Cetakan pertama kamus tersebut terbit tahun 1996 dengan bantuan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pada masa Gubernur Warsito Rasman.

Kamus Dayak Ngaju-Indonesia ini mendapat pengakuan hak cipta dari Departemen Kehakiman dan terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek pada 11 Januari 1999, dengan nomor 019770.

Albert menuturkan, hingga saat ini kamus tersebut sudah dicetak empat kali, dengan total jumlah sekitar 600 eksemplar. Pendanaan untuk penerbitan dan pencetakan ulang kamus disokong Pemerintah Kota Palangkaraya dan Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak Universitas Palangkaraya.

Selain itu, pencetakan ulang kamus tahun 2005 juga dibantu PT Maruwai Coal BHP Biliton, perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di wilayah Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah.

Perhatian terhadap bahasa Ngaju tidak berhenti pada pembuatan kamus tersebut. Keduanya pada 2001 juga menyusun buku Upon Ajar Basa Dayak Ngaju. Buku ini berisi pokok-pokok pelajaran tata bahasa Dayak Ngaju, seperti pembagian jenis kata dan imbuhan. Buku ini tidak hanya menjadi bahan pelajaran siswa SD-SMU, tetapi juga untuk umum.

Albert juga tengah menyusun kamus Indonesia-Dayak Ngaju yang nantinya akan digabungkan dengan kamus Dayak Ngaju-Indonesia. "Saya tidak tahu apakah tahun 2008 ini bisa selesai. Saat ini kamus Indonesia-Dayak Ngaju yang saya susun sudah sampai huruf P," katanya.

Albert dan Offeny berharap, kamus Dayak Ngaju-Indonesia dan kamus Indonesia-Dayak Ngaju yang sedang mereka susun itu dapat ikut melestarikan bahasa daerah Dayak yang merupakan khazanah budaya nasional.

Sayang bila orang biasa ingin mendapatkan kamus tersebut agak susah. Sebab, kamus itu tidak dijual bebas di toko-toko buku. "Kami mendapat beberapa eksemplar, selebihnya dimiliki instansi yang mendanai penerbitannya," ucapnya.

Biodata
* Nama : Albert Aron Bingan
Lahir : Banjarmasin, 30 Maret 1936
* Istri : Johanna Kameng (69)
* Anak : - Sudria Primal Oktavianus Bingan (47)
- Yosthadelius Bingan (36)
- Alise Yovettie Bingan (34)
- Hariawantoni Bingan (32)
- Benny Aryadi Bingan (30)
- Anita Bingan (28)
- Nastase Dietrikh Bingan (26)
- Mia Alvina Bingan (24)
* Pendidikan: Guru Sekolah Lanjutan Pertama Palangkaraya, 1969
* Karier : Pensiunan pegawai Bank Pembangunan Daerah
Kalimantan Tengah
* Nama : Offeny Adrianus Ibrahim
* Lahir : Barito Selatan, Kalteng, 10 September 1958
* Istri : Arita Estarika Belle Amann (41)
* Anak : - Aldria Adriano Ibrahim (18)
- Aldio Ferdika Ibrahim (16)
- Aldonius Oktora Ibrahim (13)
* Pendidikan: Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangkaraya, 1985
* Pekerjaan : Dosen di Universitas Palangkaraya dan Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya
Tulisan ini di kirim oleh sdr Aby Zakky Setiawan seorang budayawan dan sosiolog dari suku Dayak kalimantan Tengah kepada Anggota Face Book Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah

(Sumber KOMPAS)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

MERENUNGI KISAH CECAK VS BUAYA

Setiap perbuatan akan di bawa ke pengadilan yang berlaku atas sagala yang tersembunyi,entah itu baik entah itu jahat Penghotbah 12 : 14

:”Dalam perkara setiap orang ,ada suatu proses yang berlangsung lebih ajaib dari pada memindahkan gambar pada plat halus seniman seni photografi,dimana hanya mencetak rupa diatas benda yang bisa binasa.

Tetapi dalam catatan kehidupan TABIAT/PERILAKU digambrkan penuh dengan kesetiaan ,dank arena gelapnya catatan ini tidak akan dapat dihapus oleh kepura-puraan,tetapi akan di bersihka dengan cinta kasih yang tulus.

Kehidupan ini bisa seperti legenda”Mignonette dan jalan berkerikil”
Bunga mignonette adalah bunga yang sangat harum baunya ,walau di injak-injak akan tetap mengeluarkan bau yang bertambah harum dan wangi

Jalan Berkerikil = apa bila di injak-injak dia akan tetap semakin keras
Itulah cerminan kehidupan jadikan lah dirimu seperti legenda Mignonette dan jalan berkerikil

Walau kerasnya kehidupan ini anda harus tabah dan keras dalam menjalani walaupun mendapat cemoohan dan iri dengki kamu akan tetap seperti bunga mignonette yang tidak pernah layu dalam keharuman.

Jakarta,5 September 2009

Thomas Wanly

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

BANK DUNIA MELANGGAR STANDARNYA SENDIRI KETIKA MENDANAI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

10 Agustus 2009

INFORMASI PRESS UNTUK DI SIARKAN SEGERA


BANK DUNIA MELANGGAR STANDARNYA SENDIRI KETIKA
MENDANAI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI INDONESIA

Cabang sektor Swasta Bank Dunia – Internasional Finance Corporation (IFC)- telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia,sebuah audit internal mengungkapkan :

Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut di mana-mana,emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.

Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut ,karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah ,IFC tetap meneruskan pinjaman kepada Wilmar Palm Oil Trading Group,melanggar standarnya sendiri,menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok ( supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC : tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekuawatiran soal dari mana perusahan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka . Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang di produksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.

Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting di keluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang di sampaikan Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia,termasuk Sawit Watch dan Gemawan.

Norman Jiwan dari NGO Pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat :

Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputusan bebas. Didahulukan dan di informasikan dari mereka,memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan stndar-standrnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.

Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan :

Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakt lokal.Standar-standar IFC mewajibkan ini.Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat di rampas demi minyak sawit yang murah dalam pasar internasional .Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena ,dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.

Marcus Colchester,Direktur Forest Peoples Programme menambhkan :

Kami puas bahwa laporan audit ini lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami ,juga tanggapan dari manajement IFC terhadap audit tersebut menyaran kan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa.Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sunguh-sunguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia,kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi.

Untuk Informasi lebih lanjut,silahkan hubungi :

1. Marcus Colchester,Forest Peoples Programme : + 44 1608 652893
2. Norman Jiwan ,Sawit Watch : + 62 251 352 171
3. Lely Khairnur,Gemawan : +62 8134 522 5232

Berita lebih lanjut dapat di akses melalui :

Laporan asli dan koresponden tindak lanjut dengan IFC dan CAO lihat ;
http:// www.forestpeoples.org / documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf
http:// www.forestpeoples.org / documents/prv_sector/bases/oil_palm.shtm
Laporan audit CAO lihat :
http :// www.cao-ombudsman.org / case_uploads/case_documents/Combined%201_2_3_4_5_6_7.pdf

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sampai mati pun tetap ku hadapi

Kompas, 5 Desember 2009

Oleh : Khaerudin

Tak ada keraguan sedikit pun pada diri Sapuani. Suaranya tegas, wajahnya menatap lurus ke arah para pembicara panel internasional workshop tentang hak atas tanah yang digelar dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil di Hotel Istana Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (1/11) sore itu.


Pertanyaan sederhana Sapuani mewakili ribuan warga desa di berbagai pelosok Indonesia, korban keserakahan pemilik modal besar yang ingin membuka perkebunan sawit seluas-luasnya.

”Apakah perusahaan-perusaha an itu punya hak untuk menggusur ladang yang sudah diolah nenek moyang kami bertahun-tahun silam? Apakah mereka berhak merampas mata pencarian kami?” ujar Sapuani.


Sapuani adalah warga Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Dia datang bersama dua warga Desa Runtu lainnya, Sahridan dan Suriansah. Mereka saat ini masih berkonflik dengan PT Surya Sawit Sejahtera, anak perusahaan United Plantation, perusahaan perkebunan asal Malaysia yang menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).


Hadir dalam Pertemuan Ke-7 RSPO di Kuala Lumpur menjadi perjalanan terjauh bagi Sapuani, Sahridan, dan Suriansah seumur hidup mereka. Mereka hanya warga pedalaman yang tidak pernah pergi meninggalkan ladang. Satu-satunya perjalanan jauh yang mereka tempuh hanya ke Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.


Forum pertemuan RSPO menjadi alternatif mereka mencari jalan keluar dari konflik dengan perusahaan perkebunan sawit. RSPO dianggap sebagai organisasi yang memiliki komitmen mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan minyak kelapa sawit secara kredibel dan bertanggung jawab. Dengan merangkul pemangku kepentingan dari tujuh sektor, produsen minyak sawit, pedagang dan pemroses minyak sawit, industri pengguna minyak sawit, pengecer, bank dan investor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan dan bidang pembangunan dan sosial, RSPO menjadi harapan masyarakat korban keserakahan pemilik modal.


Tiga warga Desa Runtu itu datang ke Kuala Lumpur difasilitasi oleh Sawit Watch, LSM yang menjadi anggota RSPO. Konflik yang terjadi sejak ladang mereka dibabat buldoser milik PT Surya Sawit Sejahtera tahun 2006 itu memasuki babak baru. Dalam pertemuan RSPO yang digelar pada 1-5 November, ketiganya dijadwalkan bertemu dengan pihak HSBC, kreditor anggota RSPO yang mendanai United Plantation.


Ketegasan Sapuani memperjuangkan hak atas ladang yang digarapnya bertahun-tahun juga ada pada diri Sahridan dan Suriansah. Bahkan, Sahridan dan Suriansah pernah mendekam di penjara gara-gara memperjuangkan hak mereka. Sahridan dihukum delapan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Kotawaringin Barat karena dituduh memalsukan tanda tangan dalam sebuah dokumen.


Sahridan menuliskan tanda tangan orang lain yang memiliki ladang di sebelah ladangnya. Saat itu ia hendak mengurus surat keterangan tanah (SKT) kepada kepala desa. Orang yang dia palsukan tanda tangannya kebetulan berada di Palangkaraya. Sahridan pun sudah meminta izinnya dan diperbolehkan.


SKT diperlukan sebagai alas hak sederhana atas bekas hutan yang diusahakan menjadi ladang sejak berpuluh tahun lalu oleh warga Desa Runtu. ”Anehnya, orang yang tanda tangannya saya tulis malah enggak menuntut saya, tetapi saya tetap dinyatakan bersalah,” katanya.


Rupanya SKT digunakan sebagai salah satu jalan memuluskan rencana ekspansi perusahaan sawit. Warga yang menolak ladangnya dipindahtangankan kepada perusahaan perkebunan sawit, selain kesulitan mendapatkan tanda tangan kepala desa, juga menjadi sasaran tuntutan pidana, seperti yang dialami Sahridan.


Tak berbeda dengan nasib Sahridan, Suriansah juga terpaksa mengenyam pahitnya mendekam di dalam jeruji sel penjara karena mempertahankan ladang yang dia garap. Bersama Hendra, anaknya, Suriansah memukul aparat desa yang membantu perusahaan sawit membuldoser ladang mereka. ”Hendra emosi melihat ladang yang dibuka bapaknya sejak dia masih dalam gendongan dirusak begitu saja,” ungkap Suriansah.


Menuai hasil

Berjuang hingga forum internasional menjadi pilihan mereka yang menjadi korban ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Meski ada banyak yang belum menuai hasil seperti warga Desa Runtu, tak sedikit pula yang mendapatkan hasil seperti warga Senuju, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.


Sejak tahun 2006, warga berkonflik dengan PT Wilmar Sambas Plantation, anak perusahaan Wilmar Group yang juga anggota RSPO. Menurut salah seorang warga Desa Sejangkung, Mardiana, hutan milik warga desa seluas 321,54 hektar tiba-tiba ”dibersihkan” oleh PT Wilmar Sambas Plantation tanpa seizin warga. ”Padahal, sudah tiga generasi kami tinggal di hutan ini dan telah menjadikannya sumber mata pencarian,” kata Mardiana.

Dibantu LSM lokal, seperti Gemawan dan Kontak Rakyat Borneo, juga LSM nasional, seperti Sawit Watch, warga Desa Sejangkung mengirimkan surat protes kepada RSPO dan International Finance Corporation (IFC), lembaga keuangan milik Bank Dunia. Wilmar Group merupakan salah satu anggota RSPO, sementara IFC menjadi kreditor bagi perusahaan di bawah Wilmar Group.


”Kami mengirim surat protes kepada IFC karena perusahaan yang mereka danai masuk kategori C, kategori perusahaan yang tidak akan berdampak buruk pada kehidupan sosial dan lingkungan,” ujar Laili Khairnur dari Gemawan.


Keluhan mereka ditanggapi IFC dengan menurunkan Compliance Advisor Ombudsman (CAO), lembaga independen yang menangani keluhan atas kredit yang disalurkan IFC. CAO kemudian memverifikasi keluhan yang disampaikan warga dengan datang langsung ke Sejangkung dan Dusun Sajingan Kecil, tempat Wilmar Sambas Plantation beroperasi.

Hingga kemudian warga melakukan pembicaraan dengan Wilmar Sambas Plantation yang difasilitasi oleh IFC. Pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, seperti Wilmar meminta maaf atas pembukaan lahan tanpa persetujuan warga, tanah yang sudah dibuka dikembalikan kepada masyarakat, hutan yang belum ditebang tidak boleh dibuka untuk jadi perkebunan, wilayah yang telah ditanami sawit akan diserahkan masyarakat dalam bentuk kebun plasma dengan Wilmar sebagai intinya.


Namun, hasil fenomenal dari perjuangan masyarakat di forum internasional adalah suspensi IFC atas kredit-kredit mereka kepada perusahaan perkebunan sawit. ”Mereka menganggap, ada mekanisme yang salah dalam penyaluran kredit untuk perkebunan kelapa sawit. Sejak September 2009, IFC melakukan suspensi atas semua kredit perkebunan kelapa sawit,” ujar Laili.


Menurut Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch, tindakan IFC melakukan suspensi terhadap debitor telah membuat banyak perusahaan perkebunan, terutama anggota RSPO, berpikir ulang untuk menangani persoalan konflik tanah dengan masyarakat. ”Saat ini mereka benar-benar khawatir,” ujarnya.


Untuk itulah, Sapuani, Sahridan, dan Suriansah bertekad menghukum perusahaan yang merampas tanah mereka dengan bicara langsung kepada kreditornya, HSBC. Jika intimidasi dan lantai penjara tak menyurutkan langkah mereka dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka, apalagi hanya bicara di forum internasional. ”Sampai mati pun siap aku menghadapinya,” ujar Sahridan. Sumber; Kompas Online Kompas, 5 Desember 2009
Last Updated ( Saturday, 05 December 2009 )

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS