Stigmanisasi Suku Dayak


Tahun ini adalah tahun keDelapan pascakerusuhan di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalteng.
Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab, barbarian, kanibal dan biasa mengayau (memotong kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan. Stigmanisasi Belanda ini 'berhasil' menyesatkan pandangan suku lain di Nusantara terhadap orang Dayak. Hingga kini, misalnya anak di Pulau Jawa yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak itu berekor, haus darah dan dilingkupi kehidupan black magic yang pekat.

Penyesatan persepsi ini yang dilakukan Michael Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam bukunya Borneo van Zuid naar Noord (Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan) terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan diterjemahkan Helius Sjamsuddin. Perelaer yang pernah ambil bagian dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda dan diangkat menjadi Civiel Gezaghebber (pejabat sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak --kini Kalteng-- (1860) ini, di hampir seluruh bagian bukunya itu menggambarkan dengan sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta sungai yang bersih dan berarus deras mengalir. Tentu, sebelum ganasnya gergaji dan raung buldozer milik kapitalis dari kota yang meluluh-lantakkan wajah dan perut bumi.
Selain sebagai tentara, Perelaer penulis yang cukup produktif semasa hidupnya. Dia banyak menulis tentang Hindia Belanda. Pengetahuannya yang mendalam tentang adat-istiadat Dayak dituangkan dalam bukunya yang telah menjadi klasik, seperti Etnographische Beschrijving der Dajaks (1870). Selain itu, Perelaer menulis novel Baboe Dalima yang disebutnya sebagai opium roman.

Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi bukti barbarianisme tumbuh, berkembang dan mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya (19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) --mungkin karena buku ini bersifat novel-- menjelaskan mengapa kayau hidup, berkembang dan juga menjadi sarana perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain medium penaklukan dan lambang keperkasaan.
Namun tidak sekali ini saja penulis Belanda --juga orang asing lainnya-- menggambarkan dengan sangat tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang Dayak dan kayau-nya.
Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain (1971) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter (Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis) Domalain. Karena itu, tidak mengherankan Library of Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai Borneo- Description and Travel. Secara tak langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian ke tempat eksotik, liar, primitif dan menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya kayau.

Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York, Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia itu karena menulis di koran dan tabloid di Amerika. Juga memberi wawancara, bahwa dia tinggal di betang (rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal bersama dengan guyub) bersama pengayau dan melakukan sex orgy setiap malam.

Dalam bukunya, Sargent menceritakan hengkang dari Borneo. Ibu seorang putra (waktu itu berusia 11 tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku Bahorok atau O'Bahorok. Sargent kembali membuat sensasi dengan gambar pesta perkawinan yang sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta perkawinannya dengan sang kepala suku. Sargent kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian, Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan Papua bagi pembaca buku berbahasa Inggris di Amerika dan Eropa.

Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan --bisa jadi karena kesengajaannya- - berkisah dan melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang membayangkan Borneo juga Papua sebagai tempat primitif.
Perelear mungkin lupa, orang Dayak bisa juga menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun melalui sebuah rapat besar yang dihadiri utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara, Kalteng, pada 22 Mei - 24 Juli 1894.

Kayau yang ditulis dengan bumbu cerita lisan hiperbolik, menjadi sekadar kekejaman kala mandau menebas leher musuh. Kayau tak pernah ditulis dalam bingkai sosiologis, antropologis dan politik. Ujungnya puak Dayak didiskreditkan. Padahal, di hari-hari ini apa bedanya dengan kekejaman baik fisik maupun psikologis yang dilakukan kalangan berpunya --secara ekonomi dan politik-- terhadap kaum marjinal.
Padahal, persoalannya adalah bagaimana keadilan ditegakkan secara benar baik faktual maupun filosofis. Dayak yang menjadi anak kandung peradaban Borneo tak boleh lagi menjadi simbol keterbelakangan, barbarianisme dan keterpinggiran.
Namun bagaimana pun, Desersi adalah novel antropologis mengenai Kalimantan abad ke-19 yang memikat, kaya data dan deskripsi detil. Lewat dialog tokoh dalam novelnya itu, Perelaer juga --walau sedikit-- mengkritisi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Tinggal kemudian bagaimana generasi muda Dayak berbuat mengubah dirinya secara sistematis menjadi sebuah suku yang disegani, bukan ditakuti…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Stigmanisasi Suku Dayak"

Posting Komentar