Kesusasteran Dayak dalam kontek Lewu dan Ngaju

Pengertian lewu tidak hanya terbatas pada desa,atau kampung ,tetapi dapat juga dia artikan dengan negeri,tanah tumpah darah atau kampung halaman,yan semuanya diarti kan dengan tanah asal,tempat kelahiran dan tanah leluhur dari nenek moyan (Pdt Hermogenes Ugang)
Kebudayaan Dayak yang secara tertulis khususnya Dayak Kalimantan tengah masih belum ada,kemungkinan juga dayak-dayak lain di Kalimantan ,”dayak sebenarnya bukan arti dari manusia yang mendiami pulau Kalimantan,tetapi hanya sebuah sebutan oleh orang Belanda saat itu dan di Kalbar pernah menjadi perdebatan yang panjang
Sastra –sastra dayak sebenarnya tidak lepas dari sebutan lewu dan ngaju,lewu = tanah asal,ngaju = orang yang mendiami bentang sungai dari arah hilir ke hulu dari suatu DAS.

Kebudayaan Dayak tidak bisa dilepaskan dari masa /peristiwa tertentu yang hanya di ucapkan sebagai cerita dari nenek ke anak dan anak ke cucu dan seterusnya sehingga sangat susah kita untuk mengatakan kapan kebudayaan dayak itu di tulis dalam suatu kitab atau bentuk-bentuk tulisan seperti zaman mesir,tapi yang menariknya orang dayak zaman dahulu hanya bisa menggambar sebuah keadaan suatu tempat pada sebuah batu unntuk menceritakan keadaan yang terjadi saat itu .Dan lucunya lagi semua pentilasan yang menyangkut persoalan tersebut semuanya sudah menjadi batu..dan ini lah yang saya bilang sangat menarik dan perlu penelitian khusus tentang orang dayak.
Orang Dayak lebih cepat paham dan mengerti dengan bahasa isarat atau kode tertentu,terutama tentang peristiwa alam,semakin paham dan mengertinya orang tersebut semakin berpengaruhlah dia di komonitasnya dan Orang Dayak pasti akan cepat mengingat apa yang pernah terjadi dan itu akan menjadi buah bibir dan terangkum semacam cerita dengar dan cerita pandang,kalau cerita dengar orang dayak akan berinteraksi dengan pesan-pesan yang pernah didengarnya dan dia akan mencoba membandingan dengan apa yang pernah dilakukan,kalau untuk cerita pandang mereka akan berinteraksi dan mengingat-ingat terutama dalam hal budaya kesenian dan kerajinan Tangan.
Dalam sebuah klan Dayak tertentu ada larangan bagi Kaum lelaki untuk beristri bila dia belum bisa membuat ayaman Pahera /ayaman tangkai kapak dan dia belum di perboleh kan menikah kalau belum berani menebang sebatang pohon besar di ladang nya,demikian juga kaum perempuan nya dia belum bisa di kawin kan kalau dia tidak bisa memasak nasi dan mengayam tikar,dan alat-alat keperluan berladang ,disini lah Nilai kedewasaan dan kebijakan dari orang dayak di lestarikan sampai zaman nya pra orde Baru,setelah orde baru berkuasa selama sekian puluh tahun ..hancurlah budaya tersebut,budaya rumah betang di hancurkan ,sehingga orang dayak sangat individual (Nilai-Nilai Luhur Rumah Betang)
dan yang menariknya lagi ada kebudayaan yang melarang kaum lelaki untuk tidak tidur Tengkurap setelah istrinya melahirkan sebelum anak nya bisa tengkurap,itu menandakan bahwa orang dayak sangat menghargai pasangan hidupnya ,kita mesti tau kenapa larangan itu mesti dicertakan secara turun temurun ,tidak lain karena bila si suami meniduri istrinya sebelum anak nya tengkurap,alat repruduksi istri nya tdk akan terjamin dan itulah yang di namakan penyakit Meruyan (DR.Marko Mahin dalam adaptasi dan mitigasi manusia Dayak terhadap perubahan iklim)
Dan hukum atau aturan tersebut semuanya hanya tersirat dan bukan tersurat,karena menurut cara pandang orang Dayak hal pembuktian itu bukan nya harus lewat selembar surat yang bisa menghilangkan hak seseorang tetapi mereka lebih meyakini perkataan orang berdasarkan bukti sejarah dan karya yang pernah di lakukan orang itu selama hidupnya (Persoalan inilah yang menjadi penyebabnya konflik harisontal dan vertical dikalangan orang asli dengan pendatang saat ini di mana Hukum yang di adopsi oleh pemerintah Indonesia adalah hukum asas pembuktian tertulis.,karena birokrasi yang rumit seperti itu banyak orang Dayak beranggapan lebih baik kita menjadi orang Transmigrasi dari pada masyarakat “dayak”,asumsinya bila menjadi warga Tranmigrasi kita akan mendapat modal,tanah yang sudah bersertivikat seluas 2 hektar dan akan di perhatikan oleh pemerintah,bukan seperti penduduk asli yang selalu di anggap bodoh,udik dan termarginal.

Contoh –contoh cerita tersebut yang sekarang menjadi legenda dan sekarang masih mempunyai nilai-nilai gaib yang tidak bisa di ungkapkan secara logika dan etika,seperti cerita Darung Bawan yang meruntuhkan puncak Bukit Raya di penggunungan Swzhener,yang pecahan gunung tersebut menjadi Bukit Bangapan di hulu sungai Baraoi DAS Samba Kabupaten Katingan,Bukit Tandu di Tumbang Jala, dan legenda Batu Suli Di Tumbang Manange DAS Kahayan
Hasil pekerjaan dari Darung Bawan untuk memutuskan jalan/tangga bagi raksasa yang bernama Rhuawai_Rashi di Langit karena raksasa tersebut suka memakan manusia/penduduk di bumi,Setelah terputusnya jalan atau runtuh nya bukit tersebut,membuat raksasa selalu meneggok kebawah,saking laparnya sehingga air liurnya jatuh mengalir kebumi dan orang dayak percaya bahwa liurnya itu yang menjadi nyamuk,pikat,lintah dan pacat sekarang,
Dan ada juga cerita Bungai yang lagi berteduh dari hujan dalam pengembaraan nya dia berhenti di bawah batu besar dan menggambar keadaan desa Tumbang Pajangei dan batu tersebut masih bisa di lihat di hulu sungai Parawai kecamatan Bukit Raya kabupaten Katingan,dan saat itu juga dia sempat menanam pohon bendang sejenis sawit yang pelepah nya tajam seperti sembilu sekitar 100 ha yang mana tanaman tersebut jarak tanam nya sama dengan tanaman sawit sekarang. (ex.HPH Pt.Meranti Mustika /Kayu Mas Group ) dan banyak lagi cerita-cerita tersebut yang hanya bisa dilihat pentilasan nya berupa jeram dan batu batu yang mewakili dari cerita ini ;sebutlah ( legenda Riam Motah ,dan riam Sandung Angoi dan legenda Pasui Anak Bintang serta Riam Tarui Pinang di Tumbang Puan dan Tumbang Manya di Kecamatan Mentaya Hulu Kotawringin Timur)

Menurut kebudayaan atau tahapan sastranya terdahulu mungkin tidak seperti zaman moderen saat ini yang bisa dibagi menurut masa.
Menarik juga kebudayaan “LEWU’ di bumi Borneo atau tanah dayak ketika itu hanya bisa dibagi menjadi atau semacam istilah-istilah atau lewu antara lain Lewun Sangiang,Lewun Sansana dan Lewun Tetek Tatum (pdt Hermogenes. Ugang)

Lewun Sangiang itu terdiri dari 3 lewu yaitu Lewun Maharaja Sangiang,Lewun Maharaja Sangen dan Lewun Maharaja Bunu.
Inilah awal dari suatu periode di bumi yang hanya di huni oleh 3 saudara atau 3 negeri/lewu yang dalam cerita di lahirkan oleh Manyamei Lumut Garing (lelaki) dan Kahukup Bungking Garing (wanita) yang tinggal di desa pertama yaitu desa Lewun Nindan Tarung (negeri yang bersusunkan kemasyuran)
Zaman atau masa ini yang disebut dengan zaman dewa-dewa/sangiang atau terkenal dengan lewu telu.
Dari ketiga maharaja tersebut hanya maharaja Bunu lah yang menurun kan manusia dan yang lain nya juga masih hidup didunia-dunia gaib,itulah sebabnya orang dayak tidak bisa dilepaskan dari hal2 yang mistik atau hal gaib..
Setelah itu baru ada zaman Sansana dimana peristiwa-peristiwa kepahlawanan diceritakan dimana hal2 yang jahat dikalahkan oleh pahlawan kita dan kemungkinan disinilah cerita Ongko Kalangkang yang mendirikan Betang di Datah Hotap di Hulu Habangoi DAS Samba menurut cerita masyarakat disana di bekas Lewu (bhs Dayak= Kaleka ) sering orang mendengar kokok ayam dan mendengar orang yang seperti lagi ada kenduri ,dan kadang –kadang orang masih bisa menemukan tiang betang nya yang nyembul dari dalam tanah,tetapi setelah didatangi besok nya tiang tersebut sudah tidak ada.
Menarik nya tentang Datah Hotap ,di sungai Miri kabupaten Gunung Mas ada cerita penduduk setempat menceritakan bahwa Datah Hotap yang di hulu sungai Masukih di sungai Miri anak DAS
Kahayan yang penduduknya waktu zaman tetek tatum mengungsi dan membangun desa di Harowu di hulu sungai Miri. Dan kepercayaan penduduk setempat ada larangan tidak bisa mendulang emas di sungai Masukih,apa bila larangan ini di langgar si pelanggar akan mati mengenaskan tanpa sebab musabab yang jelas.(hasil kajian ekonomi social budaya tim Heart of Borneo di desa-desa kawasan Muller-Swzhener)

Sansana ini adalah sebuah cerita yang di ucapkan semacam puisi yang diceritakan turun menurun tentang cerita heroic dan legendaries seperti cerita Bandar (zaman ini lah orang Dayak mengenal perdagangan dan pelabuhan ) seperti Lewu Luwuk Dalam Betawi Desa Bontoi sekarang,dan di DAS Kahayan waktu itu yang terkenal dengan sebutan 7 lewu yaitu Luwuk dalam Betawi,Tanjung Berenng Kalingu,Tumbang danau Layang,Tumbang Pajangei,Batu Nyapau,Lewu Upun Batu dan Silan Batu Mapan
,
Di Katingan juga ada cerita tentang Lewu pulu atau Lewu sepuluh yaitu,lewu Handiwung,Lewu Talian Kereng,Lewu Manyangen Tingang,Lewu Tarusan Danum,Lewu Tewang Sanggalang Garing, Lewu Tewang Darayu Langit,Tumbang Lawang, Lewu Teluk Bawin Uya,Lewu Tumbang Taranei/Panei di Kabirum sungai Talunei dan Datah Hotap (untuk yang terakhir reperensi ini masih simpang siur ada yang mengatakan penyebaran orang Dayak dari Datah Hotap, ada juga yang bilang dari hulu Barito) dan disinilah masyarakat Dayak mulai mengenal tata pemerintahan dengan adanya Dambung dan Tamanggung.
(khusus Untuk Ong Kho Kalangkang ceritanya dia mempunyai putra yang bernama Shem –Phung yang menurunkan lagi Tham dan Bung –Ai atau Tambun Bungai) dimana di sini lah awalnya orang dayak mengenal cara bercocok tanam,ini di tandai oleh kebiasaan mereka membuat Ancak /kelangkang sebagai media memberi sesajen kepada nenek moyang nya sebagai ucapan permisi dan ucapan syukur .diwaktu membuka ladang,mendirikan rumah,mengobati orang sakit serta mampakanan batu/upacara habis panen. Dan setiap acara ini juga disertai acara thampung tawar dan taburan beras kuning)
Acara tampur tawar biasanya acara memercik kan air dimana air di taruh di mangkok yang diisi air sedikit ,di beri beras dan di tambah dengan sejumput rumput “daren Sahar” /rumput special untuk tampung tawar.
Seiring dengan perkembangan zaman ada juga ritual memercikkan darah binatang serta penggunaan angka tambah (‘+’) /cacak burung di palang pintu atau di tiang rumah,dimana orang dayak meyakini ritual tersebut sebagai ungkapan atau doa menolak bala dan marabahaya atau untuk mengusir roh-roh jahat. (ada hubungan dengan ritual hari pelepasan bagi kaum Ibrani waktu keluar dari mesir)

Setelah zaman sansana Bandar ini orang Dayak mulai memasuki zaman Tetek Tatum atau zaman Ratap Tangis, atau zaman Haasang,/perang,bunuh membunuh antar suku dan wabah penyakit sehingga banyak penduduk yang mengungsi seperti wabah kolera, dan cacar . Penduduk warga Betang Kaleka Mamben di Tumbang Hangei 1 Katingan Tengah mengungsi sampai Lesung Mambuk di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat atau di hulu Batu Nyapau sungai Manjul di Seruyan Hulu menuju Bahokam di hulu sungai Mahakam dan Mamaruh di Hulu sungai Serawai di Kabupaten Malawi
Di zaman ini lah yang terkenal dengan Perang Nyai Undang di Kota Bataguh Pulau Kupang Kuala Kapuas ,ada juga legenda Marikit dan Amai Daun dari Bahokam. ,sangat sayang peristiwa dan kejadian itu tidak bisa dirunut berdasarkan penanggalan masehi.sehingga referensi secara tertulis tidak ada tetapi hanya sebuah legenda yang di ceritakan turun menurun dari kakek ,atau orang tua ke anak-anaknya sebelum tidur.

Setelah berakhirnya zaman Tetek Tatum , babak baru lagi bagi sejarah Dayak yaitu Perjanjian Tumbang Anoi dai sini mulailah orang Dayak mengenal persatuan dan menyadari lagi bahwa mereka itu adalah satu darah satu Lumpeng Puser (se ibu) dan senasip dan dari sini lah orang Dayak mengorganisasikan diri dan bersatu dan dari sini lah mereka melakukan komonikasi surat menyurat (Bertobatnya Sang Balian dan surat Evangelis)
(catatan :Rapat Besar Hurung Anoi ,media undangan nya berupa sumpit dan mandau reprensi Drs Harianto Garang // Adat istiadat Dayak Ngaju dan dari berbagai sumber)


Palangka Raya,6 Juni 2010

Penulis

Thomas Wanly

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kesusasteran Dayak dalam kontek Lewu dan Ngaju"

Posting Komentar